Dalam hidup, Tuhan adalah perencana terbaik dan orang-orang baik adalah tangan-Nya yang terulur.
~RIL
🌷
Vani bersorak dalam hati tatkala Pak Ilyas, guru Bahasa Indonesia menyatukannya dan Biru dalam kelompok kerja untuk meresensi bacaan melayu. Kesempatan emas bagi Vani untuk mengorek lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi di antara Biru dan Genta. Sebab telingkah dua orang itu sungguh seperti penyelundup saja. Apalagi setelah Biru mengatakan kalau urusannya hanya melibatkan dirinya, Genta, dan Rima. Jangan tanyakan seperti apa sosok Vani ini. Semakin tak bercelah sekat yang diciptakan seseorang darinya, ia akan semakin mengecil dan berusaha masuk bagaimana pun caranya.
"Oke, jam kita berakhir, anak-anak. Sekian dan sampai jumpa minggu depan."
Guru bertubuh jangkung itu keluar dari kelas. Vani menoleh ke belakang, memandang Biru yang sibuk menuliskan sesuatu di buku catatannya. Akhir-akhir ini Biru kerap terlihat serius. Vani mulai jarang mendengar banyolan pria itu. Ah, banyak yang berubah setelah kematian Amara dan pindahnya Genta ke sekolah lain.
"Kita mau ngerjain kapan?" tanya Vani setelah mengetuk meja Biru dengan punggung jarinya.
"Gue ikut aja," jawab Biru tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku.
"Pulang sekolah di rumah lo, gimana?"
"Ya udah, nggak papa."
Dunia benar-benar sedang berpihak pada Vani. Biru tak tahu saja di balik senyum lugu itu, Vani tengah menciptakan konspirasi besar-besaran dengan beberapa pihak yang tak pernah diduga-duga sebelumnya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Vani merasa bersalah atas apa yang terjadi di antara Amara dan Rima. Vani ingin menebus kesalahannya. Tak ingin sesuatu terambil dari hidup Rima lagi, lagi, dan lagi. Kalau pun ada, Vani akan membantu supaya Tuhan menukarnya dengan hal yang jauh lebih baik.
Ingat momen di mana Vani datang ke rumah Genta sebelum berangkat ke pameran sastra? Waktu itu bukannya Vani tak sengaja mendengar, ia memang menguping. Vani dengar Genta dan Biru membicarakan seseorang yang menemukan buku Genta. Dan...sebuah rencana yang menjadikan Biru bawahan Genta. Entahlah.
🌷🌷
Jam istirahat kedua ini, Rima mematung di depan mading seraya menatap selembar kertas yang baru saja ditempelnya. Akhirnya Rima memutuskan memproklamirkan perasaan yang banyak mengubah hidupnya akhir-akhir ini. Kendati beberapa orang, bahkan mungkin semua orang tak akan tahu dari siapa dan kepada siapa puisi Manusia Magenta itu ditujukan, Rima tetap akan menunjukkannya pada semesta.
"Rim, ngapain lo di sini?"
Relly menepuk pundak Rima, membuyarkan setiap risau yang ingin lari kemana-mana. Rima mengusap wajahnya sejenak lalu kembali tersenyum saat menolehkan wajahnya ke Relly. Kali ini teman dekatnya itu tak membawa Iqbal di sisi kanan maupun sisi kirinya.
"Baca-baca puisi. Lo sendiri ngapain di sini?"
"Hehe," Relly meringis, "Gue nyariin lo. Bosen gue sama Iqbal mulu. Eh btw, lo tau Intan anak sebelah nggak?"
"Mipa dua?" Rima asal tebak.
"Hooh."
Dan tebakan Rima ternyata benar. Sejujurnya ia tak pernah tahu ada anak bernama Intan, tapi karena yang berdampingan dengan kelasnya hanya IPA 2 dan IPS 4, maka Rima asal mengira anak IPA saja. Toh, Relly tak akan menyebut kelas IPS dengan sebutan 'sebelah'.
"Kenapa sama Intan?"
"Katanya dia bisa ngramal. Kita coba yuk! Lima ribu doang, kok."
Rima membelalakkan matanya. "Nggak. Nggak mau. Musyrik, Rel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Teen FictionPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...