Bahkan ketika tau itu kesalahan, aku tetap melakukannya. Kenapa? Karena aku telah kehilangan akal.
~Rima
🌷
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Vani, gue harus hukum diri gue sendiri," tegas pria bermata kuyu yang telapak tangannya menelungkup di depan dagu itu.
Matanya kering, namun perempuan di sebelahnya tahu jika di dalam sana badai ganas tengah mengolak. Sedang seorang pria lain tetap berdiri tegar di depan IGD sambil terus merapal doa. Ya, ia Genta. Genta yang pipinya mulai membiru akibat tonjokan Biru sebelumnya.
"Wali dari Vanila?"
Seorang dokter wanita berperawakan tinggi gempal keluar dari IGD. Genta yang pertama mendekat kemudian disusul Biru. Sementara itu, Rima masih tak bergeming. Jujur, rasa simpatinya hanya sedikit timbul. Bukankah ia membenci Vani yang telah meracuni pikiran Amara sahabatnya?
"Iya Dok, bagaimana?"
"Vanila tidak apa-apa. Semuanya sudah dinetralisir. Tinggal menunggu sadar saja. Setelah ini Vanila akan dipindahkan ke ruang rawat. Mari mengurus formalitasnya."
Dokter membawa Genta pergi. Rima tak pernah tahu apa yang dimaksud dengan formalitas. Mungkin mengurus ruang rawat seperti apa yang diinginkan untuk membantu pemulihan Vanila. Atau, entahlah. Sementara itu, tanpa basa-basi dan meminta persetujuan siapa pun, Biru masuk ke IGD. Rima terbengong-bengong. Tapi sebisa mungkin memakluminya. Tak ada sahabat yang ingin kehilangan sahabatnya. Sebab kehilangan sahabat seperti kehilangan dunia. Dan Rima telah merasakannya.
Ini aneh. Sudah satu jam lebih Vani dipindahkan ke ruang rawat, tapi belum ada tanda-tanda dirinya akan sadar. Biru sudah dua kali memanggil perawat dan hasilnya tidak memuaskan. Mereka bilang gadis malang itu baik-baik saja. Biru makin frustasi. Diajaknya bicara Vani seperti di film-film, namun tetap saja. Mata Vani masih terpejam.
"Van, bangun dong Van! Gue beliin es krim vanilla kesukaan lo deh," bujuk Biru bak anak kecil sambil memainkan jemari Vani.
Di sisi lain, Rima dan Genta duduk berjauhan. Keduanya saling diam. Genta pada game di ponselnya dan Rima pada punggung Biru yang bergerak-gerak kecil. Beberapa kali Genta melirik, namun lekas disudahi karena Rima asik pada sosok Biru. Ia tak mengerti kenapa hatinya seperti dipatahkan walaupun itu hanya sedikit.
"Ehem."
Deheman Genta adalah suara pertama setelah Biru berhenti membujuk Vani untuk cepat sadar. Ponsel pria itu sudah masuk kantong. Mungkin habis batrai. Sekarang Genta tidak ada aktivitas lain selain ikut memandangi punggung Biru.
"Lo haus nggak Rim?" tanya Genta kemudian.
Rima gelagapan sejenak lalu dengan ragu menjawab iya. Biru mendengarnya dan, "Biar gue yang beliin."
Tak butuh waktu lama, kedua orang itu kompak berdiri. Biru berdiri tegak sementara Genta kembali duduk.
"Mau minum apa, Rim?" lanjut Biru.
"Terserah."
"Jus mau?" Rima mengangguk kemudian pria beralis tebal itu meninggalkan ruangan.
Mungkin Biru tak ingin ada pahlawan lain di hidup Rima. Tapi apa ia tak berpikir jika pergi membeli minuman akan membuat Rima berduaan dengan Genta? Oke, ada Vani, tapi perempuan itu masih nyenyak dalam tidurnya. Rima bangkit untuk menghindari momen tak mengenakkan itu. Bagaimana pun juga semua telah menjadi canggung sekarang. Bahkan keduanya hanya diam saat perjalanan menuju kemari, tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Novela JuvenilPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...