Pun sesuatu yang serius juga punya kendala-kendala.
~RIL
🌷
Rima kesulitan tidur semalaman. Waktu tidurnya berceceran, satu jam sekali selama lima menit. Ia sendiri heran, raganya tidur namun pikirannya tidak. Begitu banyak pertanyaan yang wujudnya bisa dilihat seperti ribuan demonstran tanda tanya yang tak berpola. Terlebih ketika jendela kacanya kehilangan tirai. Atau lebih tepatnya sengaja tidak dipasangi sebab si empu terlalu malas memasangnya. Akibat kemageran itu, sisi rumah yang berupa lahan kosong beralang-alang tinggi menjadi kawan malam yang teramat mempesona.
Keluarga Rima merupakan keturunan jawa tulen yang masih gemar memerhitungkan hari. Patokan mereka juga masih bulan Jawa yang setiap tanggal lima belasnya bulan membentuk lingkar sempurna dan bersinar lebih terang dari hari-hari biasa. Purnama di atas ilalang itulah yang mengganggu tidur Rima tadi malam.
Orang-orang melankolis macam Rima memandang bulan dan malam sebagai keindahan mahadahsyat. Baginya benda-benda langit punya energi tersendiri. Bagaimana pun juga mematikan lampu, membuka jendela lebar-lebar, menulis atau membunyikan gitar di depannya begitu damai.
Tapi jangan lupa, terlalu larut dalam suasana juga tidak baik. Rima menuai apa yang telah ia tanam. Biasanya tanpa alarm Rima akan bangun dengan sendirinya, tapi kali ini tidak. Teriakan Amara yang kerasnya melebihi jam dingdong mushola lah yang hanya bisa membangunkannya.
Gadis itu beringsut turun dari ranjang dan terhuyung-huyung ke kamar mandi.
"Apaan tuh?" tunjuk Rima pada kotak yang dibawa Amara sebelum benar-benar menghilang ditelan pintu kamar mandi.
"Donat, dong. Gue beli di perempatan deket SMP. Tau nggak ternyata penjualnya masih inget sama gue. Dia kasih diskon coba."
"Bodoamatt!!!" teriak Rima yang sukses membuat Amara mendengus kesal.
Serampungnya mandi, berdandan, dan memakai bodymist yang dibelikan Amara, Rima berjalan lunglai ke meja makan yang di atasnya sudah tersedia banyak makanan termasuk donat yang dibawa Amara.
"Bu, kemarin aku liat Rima diboncengin cowok coba," adu Amara dengan mulut sesak akan donat.
Rima mengerling. Pasti yang dimaksud adalah Biru.
"Oh ya?" Ibu Rima terlihat antusias sementara Rima masih memasang muka datar.
"Iya Bu. Arahnya sih ke rumah. Kayaknya dianter pulang, deh. Siapa sih, Rim? Kok lo nggak cerita ke kami?"
'Kami'. Tentu saja Amara dan ibunya Rima. Tiga perempuan itu jika sudah berkumpul maka layaknya genk anak muda yang menomorsekiankan usia.
"Namanya Biru. Bukan siapa-siapa. Temen pun enggak. Tapi kemarin tiba-tiba dia bilang suka ke Rima," jelas Rima yang lebih banyak ditujukan pada ibunya. Supaya ibunya tidak salah paham.
"Waduh, Rima sekarang banyak cowok, Bu." Dasar, Amara kompor. Rima terkekeh kecil.
Tidak ada artinya kalau di dalam kata 'banyak' itu tidak terdapat lelaki yang benar-benar Rima sukai.
Anehnya, setelah obrolan barusan sarapan pagi ini jadi lebih banyak ditemani keheningan. Rima merasa ganjal. Mungkinkah ibunya marah atau karena Amara yang terlalu larut dalam aktivitasnya memakan donat?
"Rim, habis ini gue anter lo, ya?" Amara meminum satu teguk susu yang sudah disiapkan untuk Rima dan berujar demikian.
"Lhah tumben. Biasanya mampir doang nggak sekalian nebengin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Teen FictionPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...