4| Di Lapangan Basket

527 60 5
                                    

Terkadang semakin kecil sebuah tindakan semakin sulit bagi kita menentukan sebab melakukannya.

~RIL

🌷

"Rima!!!"

Relly menunjukkan nafasnya yang terengah dari ambang pintu. Beberapa siswa di kelas dijerat atensinya walaupun hanya sesaat lantaran aktivitas bergosip dirasa lebih mendesak.

"Rim, ke lapangan basket yuk!" ajak Relly tanpa berteriak lagi, tentu saja karena jarak pintu dengan tempat Rima tak terlampau jauh.

"Ngapain?"

"Nonton pertandingan basket lah."

Rima menggeleng lalu kembali berkutat pada PR Kimia yang semalam lupa ia kerjakan. Meski kurang mahir bahkan dikatakan lemah dalam Kimia, tidak seorang pun bisa menghentikan ambisi Rima dalam belajar. Relly lekas memutar otak agar teman barunya itu mau diajak nonton.

"Rim!"

"Apa lagi, sih?"

"Ada Genta."

Seketika pena berhenti menorehkan tinta. Rima menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang mendengar ucapan Relly. Bocah itu memang suka ngawur. Bagaimana jika seseorang mendengar dan mengira Rima mengejar cinta Genta? Tidak. Membayangkan saja sudah begitu buruk. Namun sepertinya yang lain tidak mendengar. Lagi pun Relly hanya berbisik barusan.

"Apa hubungannya sama gue?"

"Alah, gengsi gak usah digedein. Memperberat beban hidup tau nggak. Yuk ah, cus!"

Tanpa menunggu pertelean Rima, Relly langsung menjemput dan menariknya dengan paksa. Akhirnya Rima bersedia asalkan Relly mau membantunya menyelesaikan soal-soal yang pengerjaannya tertunda gegara pertandingan unfaedah itu. Perkara sepele bagi Relly yang notabene nya anak kelas VIP dalam urusan ajar-mengajari.

Suasana di lapangan boleh dikatakan super duper ramai. Dari kelas sepuluh sampai dua belas tumpah ruah memenuhi bangku tribun. Rima bertanya-tanya, apa cuma anak-anak kelasnya yang masih adem ayem di kelas? Tidak heran, sih. Anak-anak kelasnya memang terkenal kaku dan ambisius. Jarang bersosialisasi dengan kelas lain. Termasuk di dalamnya, Rima.

Relly mengajak Rima merangsek ke barisan depan, ke dekat pintu masuk pemain yang rada sepi. Rima menurut saja.

Beberapa pemain mulai memasuki lapangan. Sorak sorai bergema di lapangan tertutup itu. Teriak histeria para cewek terdengar begitu Biru keluar dengan baju kaptennya. Rima mencebik. Mau sekeren apapun Biru, baginya laki-laki itu tetap makhluk paling menyebalkan yang pernah terlahir di bumi.

Rima mengedarkan pandangannya ke berbagai sudut. Tak ditemukannya Genta dimana pun. Pada tim Biru maupun pada tim lawannya. Bahkan bangku cadangan sudah Rima telusuri, namun sosok Genta masih belum dilihatnya. Ia melirik kesal ke arah Relly yang sudah berbohong. Sialnya Rima hanya bisa berdiam tanpa mengajukan protes atau Relly akan semakin gencar meledeknya jika tahu ia kemari hanya karena Genta.

Di sisi lain, Biru yang mengetahui Rima ada di barisan penonton lekas mendekat dengan membawa bolanya. Si bundar merah bata itu dilemparnya tepat di kepala Rima. Refleks Rima mengaduh dan mencak-mencak sambil memijit bekas benturannya. Biru tertawa. Sekarang ia mengiyakan bahwa bahagia itu sederhana.

"Ratih!" Biru melambai.

Rima menoleh meski dirinya bukan si pemilik nama. Panggilan Ratih juga sudah terbiasa di mulut Biru. Biru menolak berpaling walau nama asli Rima sudah berada di kantongnya.

Ru in Love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang