Semoga tak ada rasa-rasa yang seperti kita lagi, ingin mendekat namun dijauhkan perlahan oleh kenyataan.
~RIL
🌷
"Ru."
"Apa sayang?"
Dua orang berstatus pasangan itu tengah duduk lesehan di perpustakaan. Saat Rima mengatakan ingin merefresh otak dengan membaca, Biru langsung antusias ingin menemani. Padahal niat awalnya ke perpus adalah untuk menghindari Biru. Rima tahu Biru tak suka dinginnya perpus dan lebih senang berbaur asap rokok di kantin pojok. Eh, tapi endingnya justru tidak sesuai ekspetasi. Kini Biru ada di sebelahnya, menayangkan muka konyol yang lama tak Rima lihat. Biru yang seperti ini mengingatkannya akan waktu-waktu awal mereka bertemu.
"Jangan panggil gue gitu!" Rima memperingatkan. Mukanya memerah. Sebenarnya peringatan tadi cuma alibi untuk menutupi rasa malunya.
"Kenapa?"
"Alay tau nggak."
"Nggak tau, kasih tau dong."
Biru menopang kepalanya dengan sebelah tangan dan menaikturunkan alisnya. Rima gemas dan menutup wajah sok polos itu dengan komik yang ia baca.
"Kasih tau apa?"
"Kasih tau kalo lo itu sebenernya suaaaayaaaang banget sama gue. Iya kan? Iya lah, pasti."
"Gila lo. Nanya sendiri jawab sendiri."
Rima mengambil komik lain di rak samping dan berpura membaca dengan serius. Biru mengerling jengah, tapi tak sampai kehabisan akal. Ia mulai berulah dengan memilin-milin rambut Rima yang hari ini dibiarkan terurai.
"Apaan sih," dongkol Rima.
"Lucu deh kalau lagi marah gitu."
Rima membanting sekilas komiknya dan menatap Biru heran. "Lo kesurupan jin mana? Bilang! Lo bukan Biru, kan?"
"Justru jinnya udah keluar kali Rim. This is me. I'm Biru and I'm yours," lagi-lagi Biru menaikturunkan alisnya. Kali ini sambil membelai-belai rambut Rima.
"Deg-degan gak? Deg-degan tu pasti," lanjut Biru membuat Rima mengernyit. Gelagat Biru benar-benar kembali seperti awal. Menyebalkan.
"Kenapa?" tanya Rima.
"Kenapa apa?"
"Kenapa tiba-tiba berubah?"
Sedetik kemudian Biru justru menyenderkan kepalanya di pundak Rima ala-ala bocah gelendotan. Rima tak menolak sebab ingin mendengar jawaban dari Biru.
"Vani ngerukyah gue. Katanya, you have to be yourself."
Rima tertegun. Kecewa, kenapa bukan dirinya yang mengatakan itu pada Biru. Nasehat Vani pasti digulawentah Biru dengan baik. Jika tidak, mana mungkin efeknya sampai sebesar ini. Total dan instan.
"Diem nih ceritanya. Kenapa? Cemburu?" goda Biru.
"Najis gue cemburu."
"Alah, cemburu lo."
"Diem nggak! Ganggu banget sih."
Biru mengangkat kepalanya dan bersiap pergi. "Ya udah, gue pergi."
"Kemana?" serobot Rima.
"Lo mau gue pergi, kan?"
"Kata siapa ih!" Rima bersenderut dan menenggelamkan wajahnya di balik cover buku. Perasaan apa ini? Kenapa dirinya begitu takut mendengar kata 'pergi' dari Biru?

KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Novela JuvenilPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...