Iya bener, Randu bukan Rindu. Aku udah berusaha teramat keras supaya pembaca RIL baper. Bahkan dengan sedikit memasukkan unsur pengalaman pribadi yang aslinya bisa bikin guling-guling. But, I must say sorry. Mau sekeras apa pun usahaku buat kalian baper, kalau dari dalam diri kalian nggak ada keinginan buat baper, sama aja. Selamat membaca. Dan aku harap kalian menikmati setiap kalimatnya sampai jempol kalian gak bisa scroll part ini lagi. Enjoyyy...
•••
Mana? Randu botak dengan purnamanya yang mengacau, atau rerimbunan yang memeluk awan dengan menawan?
Del~RIL
🌷
Jika ada yang bertanya perihal keberadaan Genta saat permainan berlangsung, maka jawabannya Genta ada di sana. Ia masih salah satu titik dari lingkar yang begitu hangat itu. Masih donatur terbesar bagi kebahagiaan seorang Rima. Masih memabukkan senyumnya kendati tak memberi sumbangsih apa pun.
Memang manusia berwajah dingin itu hanya semakin membekukan diri. Otaknya terlalu malas memerintah mulut supaya bicara dan otot-otot untuk membantunya tertawa. Bagi Genta malam ini membosankan. Apalagi setelah ia tahu ada kebahagiaan lain di dalam diri Rima yang sumbernya bukan dirinya. Ya, mau mengelak sejauh apa pun, sebenarnya Genta sedikit menyadari jika Rima seringkali gugup saat berhadapan dengannya. Sebuah indikator perasaan berlebih.
Setelah kenyang dengan Biru sebagai santapan terakhir, trurh or dare resmi disudahi. Tak terasa permainan itu telah menghabiskan hampir satu jam dari waktu bersantai mereka. Azan Isya yang lamat-lamat berkumandang dari bawah sana mengingatkan mereka untuk segera kembali beribadah. Kali ini Biru tak lagi jadi imam. Ia masih sibuk memuntahkan isi perutnya setelah mabuk jamu datang bulan.
Usai menyelesaikan ritual malam sebelum tidur, semua masuk ke tenda masing-masing. Dua tenda untuk laki-laki dan dua tenda untuk perempuan. Vani tidur di tendanya sendiri yang terpisah dari Rima dan Relly. Perempuan itu punya alibi yang cukup masuk akal, yaitu tak bisa tidur ramai-ramai atau dirinya tak akan tidur semalaman. Padahal sebenarnya Vani hanya ingin menghindari Rima.
Suasana senyap, tinggal bunyi serangga dan kodok-kodok di musim penghujan yang belum juga usai. Rima keluar tenda, meninggalkan Relly yang sudah terseret arus mimpi. Bukan apa-apa, Rima hanya risi belum berganti pakaian sejak pagi. Ia jengkel pada Biru yang tidak terus terang dari awal kalau akan membawanya ke puncak. Alhasil Rima tak membawa apa pun selain pakaian yang ia kenakan sekarang.
"Hayo ngelamun!"
Rima terlunjak.
Biru mengejutkannya dari belakang saat ia sedang duduk memunggungi tenda. Laki-laki itu menenteng paperbag dan menyerahkannya pada Rima. Wajah Biru pucat. Pasti gegara belum makan apa pun setelah muntah-muntah tadi. Ah, kenapa lagi-lagi Rima merasa khawatir?
"Baju ganti," ujar Biru.
Rima memeriksanya. Satu stel baju hangat berukuran M. "Dari mana lo tau ukuran baju gue?"
"Ada pakaian dalem juga tuh," lanjut Biru mengabaikan pertanyaan Rima.
"Heh?" Rima melotot.
"Gue tahu ukurannya karena gue sering merhatiin, terus gue kira-kira, deh." Biru menanggapi sambil tersenyum puas.
Bisa bayangkan bagaimana kabar Rima sekarang? Emosinya meletup-letup seperti calon popcorn dalam penggorengan. Mukanya merah, malu bercampur marah.
"Lo belum pernah ngerasain gamparan gue, kan, Ru? Pengen ngerasain nggak?"
"Uluh-uluh mau dong." Dengan sengaja Biru mendekatkan mukanya, membuat Rima benar-benar menampolnya detik itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Novela JuvenilPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...