13| Beneran

364 56 3
                                    

Yang benar biasanya diungkapkan dengan serius dan yang serius biasanya disertai benar-benar.

~RIL

🌷

Setengah jam jalan kaki dari rumah Biru ada sebuah bukit. Dilihat dari jalan, bukit itu tampak biasa saja, tapi bila didaki sampai puncak, maka akan terlihat pemakaman cina dengan nisan-nisan besarnya yang seperti pemandangan kota di negeri dongeng.

Dulu sewaktu kecil Biru sering diajak ayahnya ke sana. Ayahnya seorang penulis berita di media cetak yang pada masa itu sedang ramai dibicarakan. Jurnalis kelas rendah yang sebenarnya memiliki potensi luar biasa. Bahkan Biru yang belum mahir membaca selalu terkesima di awal-awal kalimat ayahnya. Menulis adalah pekerjaan hebat dan Biru punya tekad besar untuk menjadi seperti ayahnya. Sebagai permulaan, ayahnya selalu memberi kiat-kiat dan mencontohkan langkah-langkah yang terbilang antimainstrem. Menulis di kuburan, misalnya.

Menulis di tempat sepi seperti pemakaman dinilai lebih efektif dan mampu meningkatkan kefokusan otak. Biru tak menampik jika rumahnya terlalu gaduh akan ocehan adiknya untuk ayahnya bisa berkonsentrasi. Hampir setiap sore mereka bersepeda ke bukit yang lambat-laun Biru sebut bukit cina. Sepeda ontel tua berkarat menjadi kendaraan ramah lingkungan yang selalu digunakan ayah Biru berangkat dan pulang kerja. Maklum, saat itu perekonomian keluarga Biru belum sebaik sekarang.

Hingga suatu hari ayah kebanggaan Biru, pahlawannya, penulis hebat itu tak pernah pulang. Yang awalnya hanya dikira sehari karena ada pekerjaan lebih, namun berujung penantian cemas berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun hingga detik ini. Ayah biologis Biru dinyatakan hilang. Dari hidup dan ingatan yang dipaksa lupa.

Awal kehilangan yang memilukan, Biru kecil dipertemukan dengan Genta yang sama kesepian karena sudah tak memiliki ibu. Meski berusaha lupa, Biru tak berniat membuang memori bukit cina dari ingatannya. Setiap pulang sekolah Biru mengajak Genta bermain layang-layang atau sekadar tiduran di atas rumput bukit cina yang dulu tidak secoklat sekarang, bahkan masih hijau segar dengan pohon berkanopi lebar di pusatnya.

Ibu Biru menikah lagi dengan seorang pengusaha kaya yang berhasil mengangkat perekonomian keluarganya hingga seperti sekarang. Sialnya Biru hanya bisa menerima harta yang pria itu bawa, bukan kasih sayangnya. Sialnya lagi, impiannya sebagai penulis ikut terkikis seiring kebenciannya terhadap keadaan.

Kendati begitu, Tuhan masih teramat baik. Pertemuan Biru dengan Genta adalah keajaiban maha luar biasa. Kesedihannya berlalu cepat seperti api kecil di tengah salju. Dua manusia yang tak segan untuk saling berbagi segalanya. Biru berbagi mimpi yang pada akhirnya mimpi itu resmi diwujudkan oleh Genta. Meski namanya belum tersohor, Genta sudah masuk kategori penulis pemula yang mumpuni. Karya-karyanya terpajang di media online dan selalu berhasil menyita perhatian publik.

Sekilas mengenai Biru kecil yang terpana akan dunia tulis-menulis. Namun semanis apapun masa lalu, ia hanya sepotong kenangan yang sudah tak ada wujudnya untuk dibawa ke masa sekarang. Kita harus kembali ke realita. Dimana Biru dewasa dengan dirinya yang sekarang tengah berjuang untuk mimpi barunya.

Siang itu setelah tetek bengek mengurusi ekstra futsal yang kebetulan juga diketuai oleh Biru, lelaki itu mengeluarkan motornya dari parkiran agar bisa lekas pulang. Senandung kecil keluar dari bibir tipisnya yang kemerah-merahan seperti berliptint sebelum detik berikutnya dikejutkan dengan suara benda jatuh. Senandungnya terhenti. Biru mencari-cari sumber suara. Pencariannya bertitik temu pada sosok Rima yang tengah berdiri cemas ketika motornya yang semula ambruk sedang diberdirikan oleh penjaga parkir. Biru urung menstater motornya dan menghampiri Rima.

"Kenapa, Rat?"

"Motor gue ketubruk mobil."

Air muka Biru berubah cemas. Setiap inchi tubuh Rima diperhatikannya dengan seksama. "Lo nggak papa, kan?"

Ru in Love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang