Jangan menerka-nerka dulu setelah baca part ini. Semua pertanyaan bakal terjawab satu-persatu. Selamat membaca dan selamat berduka.
🌷
Aku mencarimu di antara hasrat yang tak teraba. Menyembunyikanmu dalam pilu tanpa kesudahan. Dan mencari rautan terbaik bagi rindu-rindu yang tumpul.
Sekian detik terpaku di meja belajar, di depan jendela berbulan, kalimat pendek itu terbaca begitu panjang. Rima menghempaskan nafas yang membuat perih paru-parunya. Malam jadi semakin panjang. Kelopak mata semakin berat, tapi kebencian pada lelap dan mimpinya semakin menjadi-jadi.
Purnama kedua dari yang terakhir kali. Selama itu sudah banyak yang berubah. Rima semakin sibuk sebagai konseptor di ekstra teater yang kehilangan pemimpinnya. Genta pergi. Belakangan ini tersebar kabar bahwa Genta bukan lagi pemilik seragam sekolahnya yang lama. Ya, Genta menghilang. Bagai dilahap bumi dan beristirahat dengan tenang di sana. Mengingatnya Rima kembali meloloskan air mata. Satu sayapnya patah dan menghilang. Jangankan terbang. Berjalan tegak pun ia kesakitan.
Begitu juga dengan sayap satunya. Sepertinya perlahan ia juga akan pergi. Belakangan pula terkuak jika dalang di balik peneroran Rima dua bulan lalu adalah Vanila. Ya, sebenar-benarnya Rima sudah menduga. Namun beban pikiran Rima bukan pada peneroran itu, melainkan pada kata-kata Vanila belum lama ini.
"Boleh tanam kebencian. Tapi lo perlu tau. Gue bukan musuh, melainkan sahabat."
Memori itu buyar bersamaan dengan nyala ponsel Rima yang menampilkan sebuah notif chat. Rima membukanya dengan malas yang sumringah.
Biru
Hwaa...Anak kucing gue mati!!!
Rima terkekeh dan lanjut menekan tombol panggil ke kontak Biru. Setidaknya ia masih punya orang songong itu, yang masih bersedia mengganggunya di tengah malam begini.
"Anak kucing gue mati, Rim..." aduh Biru yang berhasil mengukir senyum di bibir Rima.
Bukan ia tak bersedih atas kematian anak kucing Biru, namun suara lelaki itu selalu berhasil menghiburnya akhir-akhir ini.
"Gue lagi belajar. Jangan ganggu!" bohong Rima. Menghabiskan waktu bersama anak-anak teater membuatnya sedikit baik memainkan peran.
"Alah, palingan lo lagi nulis-nulis quote sambil nangis gegalauan gak jelas."
Tutt
Rima memutuskan sambungan sepihak. Ia yang menelepon ia pula yang mengakhiri. Ia akui Biru semakin mahir menebak apa yang tengah Rima lakukan.
"Rima!"
"Astaga!"
Rima terlunjak atas sosok yang mendadak muncul di depan jendela.
"Amara? Ya ampun, gue kangen sama lo," histeris Rima menyongsong sahabatnya.
Amara tersenyum simpul. Ia memang semakin jarang main ke rumah Rima. Apalagi setelah kejadian itu, ah, lagi-lagi sesuatu mengusik ketenangannya.
"Ngapain di situ? Ini udah malem. Ayo masuk! Gue bukain pintu depan."
"Nggak usah Rim!" tahan Amara saat Rima sudah hampir memutar badannya.
"Kenapa?" tanya Rima lirih.
"Gue sebentar."
Setelah diperhatikan lagi, ternyata Amara membawa sesuatu yang terus ia dekap.
"Sorry, gue nggak ngucapin selamat ulang tahun ke lo kemarin. Kedatangan gue buat ngasih hadiah ketiga yang gue janjiin."
Rima mengernyit. Bagaimanapun kedatangan Amara di tengah malam begini, di depan jendela, dengan kata-kata yang terdengar manis sedikit membuat bulu roman Rima berdiri.
"Jangan sok horor gini, deh, Ra. Gue merinding tau."
"Jadi, lo mau minta apa?" lanjut Amara tanpa mengindahkan perkataan Rima.
"Terserah lo aja."
Amara tersenyum puas. Seakan doanya terkabul. Jujur, ia ingin memberikan sesuatu yang memang ingin ia berikan, bukan permintaan. Amara menyerahkan sesuatu yang sedari tadi didekapnya.
"Buku diary gue sejak SD. Jangan ketawa kalau curhatannya pakai bahasa alay!"
"Iya-iya. Sini!" Rima mengambil alih buku diary dengan warna tinja itu.
"Rahasia-rahasia lo bakal jadi kado terbaik tahun ini," Rima tertawa meledak. Begitu juga Amara yang sepertinya sedikit menyesal telah memberikan brangkas aibnya.
"Kalau gitu gue balik dulu ya. Capek. Urusan di sana-sini makin bikin gue mumet. Belum lagi keluarga gue yang makin belibet. Gue pergi dulu ya, Rim. Dah!"
Amara melambai dan melenggang begitu saja. Rima kembali tertawa. Tawa yang bahak di awal tapi surut di akhir.
"Rim, Rima! Bangun Rim!"
Seseorang mengguncangkan bahu Rima yang masih asik menertawakan Amara. Rima menggeliat dan melihat sekeliling. Lehernya pegal karena cukup lama tertidur dengan posisi kepala menelungkup di atas meja. Pandangannya mulai jernih dan dilihatlah oleh Rima, ibunya yang terpaku dengan bibir pucat.
"Rim, barusan Ibu dapat telepon. Amara udah nggak ada," tuturnya pelan, dalam, dan pilu.
Tes
Setetes demi setetes lolos. Langit terang benderang, namun sedikit mendung sebab awan-awan menggumpal tanpa ampun. Mereka berarak, membuat barisan yang sama seperti barisan keluarga dan sahabat yang mengantar Amara ke peristirahatan terakhir. Bukit cina, sesuai permintaan terakhir yang bersangkutan.
Rima ikut di barisan paling belakang dengan dirangkul ibunya dan Relly. Kedua tangannya terus mendekap buku diary Amara yang entah bagaimana ceritanya bisa ada di dekat Rima saat ia bangun.
Buku itu belum dibacanya, namun beberapa kali ia ciumi seperti sesal yang coba ia ikhlaskan. Diary itu beraroma alkohol. Sama seperti aroma Amara ketika ditemukan tewas dalam kecelakaan mobil karena mabuk berat.
Gadis sebaik itu telah meninggal dalam keadaan yang amat Rima sayangkan.
"Aku sampai sini aja. Ibu lanjut nganter Amara, ya."
Rima berhenti, membuat mereka tertinggal jauh oleh rombongan pengantar Amara yang memang dituntut berjalan cepat.
"Kamu nggak mau nganter Amara sampai liangnya ditutup, Nak?" Ibu Rima mengelus kepala puterinya beberapa kali.
"Aku udah ikhlas, Bu."
Ibu Rima mengangguk kemudian menyusul rombongan, meninggalkan Rima dan Relly di tapal batas menuju bukit cina. Betapa gundukan tanah yang sederhana itu menjadi saksi berkabungnya banyak orang.
"Pasti berat Rim, tapi gue yakin lo mampu ngelewatin ini semua." Relly menghibur. Sebisanya.
Rima berbalik dengan dirangkul Relly. Menjauh dari Amara, sahabat terbaiknya sepanjang waktu berjalan di muka bumi.
Berbalik arahnya Rima mengantarkan penglihatannya pada seorang lelaki dengan baju serba hitam dan kaca matanya yang hitam pula. Lelaki itu bergeming menatap Rima dengan alis yang turun tanda kedukaan mendalam.
Rima semakin dekat dan lelaki itu masih terpaku di tempat.
"Itu Biru, kan?" Relly memastikan.
Hening. Kedamaian bukit cina ikut turun.
"Anak kucing gue mati, Rim," tutur Biru kemudian bahunya bergetar.
Rima berhenti selangkah di depan Biru untuk dijatuhi peluk sedihnya. Biarpun bingung, perlahan Rima tetap memeluk balik. Tangannya yang mungil menepuk-nepuk pelan punggung Biru.
🌷🌷🌷

KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Teen FictionPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...