30| Pretensi

330 37 4
                                    

Hilang alasan untuk melanjutkan.

~RIL

🌷

Aksara adalah SMA asri yang bahkan halaman belakangnya tak bersekat dengan sepetak kebun jati. Namun itu jauh sekali. Pun areanya jarang dijangkau oleh siswa Aksara. Boleh dikatakan kebun itu jadi seperti milik sekolah. Pasalnya pohon-pohon jati dibiarkan tumbuh dengan liar tanpa perawatan. Hampir dan nyaris tak terjamah, kecuali oleh guru biologi yang sesekali mengajak muridnya ke sana untuk pengamatan.

Rima duduk termenung. Bersila di atas bebatuan buatan yang mengarah langsung ke rimbunan itu. Samar-samar suara tonggaret terdengar. Meski jauh, hewan-hewan itu bersuara sekuat tenaga demi menyampaikan kabar bahwa musim kemarau akan segera datang.

Buku paket fisika yang Rima bawa ia biarkan tergeletak di bebatuan lain. Melamun dengan udara yang sejuk begini sedikit mengurangi stresnya akan materi Momentum dan Impuls yang baru bisa dimengerti kalau sudah dibaca berulang-ulang. Lusa adalah tanggal perangnya untuk membuktikan bahwa ia bisa jadi yang terbaik. Minimal melebihi ahli logika Iqbal dan si jenius Relly. Rima ingin menunjukkan, sebagai siswa baru yang masuk di pertengahan semester, ia dapat lebih baik dari penghuni kelas yang lama.

"Woee, ngapain di sini? Gue cariin juga."

Biru datang dan tanpa izin menduduki tempat kosong di sebelah Rima. Datangnya Biru sama dengan datangnya bencana. Bisa dipastikan Rima tak bisa belajar dengan tenang setelah ini.

"Belajar," jawab Rima.

"Semangat bener. UAS baru lusa kali."

"Terserah gue dong." Rima meraih kembali bukunya dan asal membuka. Berpura membaca adalah jurus andalan ketika Biru berusaha mengganggunya.

"Rima...," perlahan Biru menyingkirkan buku itu dari hadapan Rima, "gue lebih hot kali dari soal-soal di situ."

"Hots Ru, bukan hot. Hot apaan? Lo itu hambar. H-A-M-B-A-R." Rima bahkan mengejanya untuk Biru, tapi pria itu malah meringis semakin lebih lebar.

"Nggak papa deh, asal lo suka."

"Iya, suka. Suka pengen nabok."

Kemudian, keduanya kembali membiarkan suara tonggaret merajai. Bukan tanpa alasan, Biru lebih senang memandangi Rima daripada memaksa gadis itu untuk mengutarakan hal-hal yang manis.

"Btw tadi malem kenapa nggak on? Padahal gue pengen minta ajarin Fisika," ujar Rima sembari mengganti posisi dari bersila menjadi memeluk lutut. Tak masalah. Ia sedang mengenakan celana olah raga sekarang.

"Pengen gue kasih tau, tapi takut nanti lo malah ngeledek."

"Gue makin penasaran kalau lo ngomong gitu."

"Tadi malem gue masuk kamar Sei. Gue kaget banget tuh pas tau adek tersayang gue nangis ampe sesegukan," Biru melirik Rima sebentar untuk mengetahui respon gadis itu, "ternyata dia lagi nonton drakor. Iseng gue ikutan nonton. Ternyata seru. Gue ikutan nangis. Tamat 16 episode sampai pagi."

"Astaga, pantes muka lo kayak zombi gitu. Mata sembab pula. Faedahnya apa coba?"

Alih-alih meledek, Rima justru mengomel dan menghujani Biru dengan intonasi-intonasi tinggi.

"Ya, seenggaknya gue ngerti sekarang kenapa adek gue milih jadi anak rumahan ketimbang nongkrong di kafe kaya anak seusianya. Drakor ternyata seru. Kapan-kapan kita harus nonton semaleman, sampai pagi kalau perlu."

Tanpa pikir panjang, Rima menggulung bukunya membentuk silinder dan memukulkannya ke kepala Biru. "Ngapain malem-malem sama lo?"

"Eh sumpah, gue kagak mikir ke situ Rim."

Ru in Love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang