Tempat manapun yang pernah kau datangi akan kusukai seperti aku menyukaimu.
~RIL
🌷
Guruh menggelegar bersahut-sahutan. Biru mempercepat langkahnya memasuki halaman rumah mewah berlantai tiga. Geraknya dikejar gemerayak hujan dari belakang. Biru memang berjalan cepat, namun hujan sebagai kuasa Tuhan tidak bisa ditandingi. Hujan yang mendadak itu mulai membasahi rambut Biru dan merambah ke pundak hingga punggungnya.
Biru mengibaskan jaketnya di teras dengan lantai marmer berwarna jingga itu. Tanpa mempedulikan lantai yang menjadi basah, ia lanjut menyorong pintu tanpa mengetuknya lebih dulu. Suara bising yang lamat-lamat akhirnya terdengar jelas begitu sebelah badan Biru masuk ke dalam rumah.
Beberapa orang berpakaian sederhana tengah bercengkrama sebelum akhirnya kompak menoleh ke arah pintu. Biru meringis kikuk.
"Naik aja, Den."
Tidak ingin mempermalukan diri, Biru bergegas lari jinjing ke anak tangga dan menitinya dengan kilat.
"Genta, where are you?"
Lagi-lagi Biru membuka salah satu pintu tanpa permisi. Pintu tersebut adalah tapal menuju ruangan luas dengan ranjang king size dan rak-rak buku raksasa di kanan kirinya.
Biru gagal menemukan Genta di kamarnya. Pintu toilet juga terbuka, menandakan tidak ada aktivitas di dalamnya.
"Genta, Gentayangan! Lo lagi ngepet, ya?"
"Kalaupun gue ngepet, lo yang jadi babinya."
Biru mendongak. Didapatinya Genta yang duduk pada lubang angin di atas jendela. Biru berdecak lalu membanting diri ke kasur dengan posisi telentang.
"Ngapain lo di situ? Kayaknya nama lo harus diganti jadi Gentayutan, deh."
Genta bergeming. Ia masih asik dengan teropongnya. Entah apa yang ia teropong di cuaca mendung hujan begini.
"Tumben rumah lo rada rame." Topik berganti.
"Gue suruh pembantu bawa keluarganya nginep di sini."
"Bokap lo gak marah emang?"
"Bokap gue marah kalau kliennya batalin kontrak. Selebih itu, mana dia peduli."
Genta melempar teropongnya ke kasur. Untung Biru gesit menghindar. Kalau tidak, alamat jidatnya benjol terhantam benda itu.
"Hidup lo dramatis, Ta. Udah kayak telenovela."
Klise dan banyak ditemukan kasus semacam Genta. Rumah mewah, fasilitas lengkap, kehabisan tempat penyimpanan uang, namun seperti tidak berorang tua. Ayah Genta jarang sekali pulang. Barangkali ruang kantornya sudah dilengkapi fasilitas kamar pribadi. Entahlah, toh Genta telah terbiasa tanpa pria gila kuasa itu.
Ibu Genta meninggal ketika Genta berusia empat tahun. Genta juga anak tunggal yang selalu sendirian. Sebelas tahun terakhir ia hanya bersaudarakan Biru yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya.
"Telenovela?" Genta terkekeh lalu melompat turun.
Genta tidak menepis dikatai demikian. Dihampirinya meja belajar dan sekejap saja Genta sudah sibuk dengan game di tabnya.
"Ngapain lo ke sini?"
Biru bangkit mendekat ke rak di sebelah kanan ranjang.
"Mau pinjem kumpulan puisi buat tugas ikhtisar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Novela JuvenilPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...