Marah

6.7K 189 12
                                    

Deru angin terasa sepoi menyejukkan kulit. Nampak dedaunan hijau bergoyang - goyang terkena terpaan angin sore. Terkadang berjatuhan. Melayang elok sebelum menyentuh tanah bumi.

Terlihat sebuah rumah kayu tua berdiri kokoh diantara rerimbunan pohon dan dedaunan.

Nampak sangat asri dengan adanya gemercik air dari kolam ikan kecil disana. Nuansa pedesaan begitu kental meskipun rumah itu berada di tengah - tengah kota.

"Nek!!" Teriak Lalora begitu nyaring.

Sang nenek yang tengah berkebun menoleh menghadap cucu kesayangannya. Ia tersenyum. Meletakkan barang - barang berkebunnya, kemudian merentangkan tangan untuk menangkap si cucu yang berlari menghampirinya. Untuk sejenak, mereka berpelukan.

"Nek kangen..." ungkap Lalora di dekapan neneknya.

"Baru setengah hari sekolah, masa sudah kangen nenek?" Tanya Minarni dengan lembut.

Mereka melepas pelukannya. Lalora terkekeh.

"Sehari gak ketemu nenek rasanya rinduuuuuuu banget," jawabnya dengan sumringah.

Minarni tertawa kecil kemudian mencubit hidung Lalora.

Mereka kemudian berjalan ke dalam rumah dan segera makan siang.

Makan siang mereka diiringi dengan candaan kecil yang menghangatkan suasana hari itu. Lalora menikmati makan siangnya yang sederhana. Namun baginya begitu nikmat karena ada sosok yang sangat dicintai bersamanya.

"Gimana sekolahnya Ra?" Tanya Minarni seraya memakan potongan udang di garpunya.

Seketika Lalora tersedak kala mengingat kejadian tadi pagi. Kejadian yang membuatnya mengaku sebagai anak seorang, Profesor.

Segera ia menggapai air putih disebelahnya kemudian meneguknya hingga habis. Minarni nampak bingung.

"Lhoh, kenapa Ra?" Katanya sembari menepuk - nepuk pelan punggung Lalora.

Lalora menggeleng, "nggak nek, Lora gapapa."

Minarni mengangguk lega. Kemudian lanjut menyuapkan nasi ke mulutnya.

Lalora masih terdiam. Tak ingin menjawab pertanyaan Minarni. Dia berpikir, akan ada masalah yang ia dapat setelah ini. Dia berpikir pula, seperti apakah sosok anak Profesor itu?

Lalora menggeleng. Kemudian berdiri menuju wastafel dan mencuci piringnya.

---

Brak!!!

"Den, jangan dibanting - banting atuh den pintunya,"

Regan menggeram. Berjalan berdentum - dentum menaiki tangga rumah mewahnya. Tak menghiraukan Dalilah, salah satu pembantu rumah tangganya yang sedari tadi menguntit dan memohon dirinya untuk tenang.

Regan merasa dihina akan kejadian pagi tadi yang menimpa dirinya. Marah. Begitulah yang Regan alami sekarang. Amarahnya memuncak. Ia ingin protes kepada Papanya yang kebetulan tengah bekerja di rumah.

Dengan langkah berdentum itu, sehingga menyebabkan bunyi hentakan kaki disepanjang lantai rumahnya.

Dorr...dorr....dorr...

Gedoran pintu terdengar kala ia sampai di depan ruang kerja sang Papa. Berkali - kali ia menggedor pintu itu hingga kesabarannya mulai menipis.

"Duh, den, pelan - pelan atuh ngetuknya, tuan besar kan lagi kerja den" kata Dalilah lembut.

Seperti tidak ada manusia disampingnya, Regan bahkan tak memperdulikan omongan Dalilah.
Dalilah yang pasrah kini hanya bisa diam dan menghela nafas panjang.

REGAN [Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang