Tragedi

1.4K 99 60
                                    


Hope you like it...







***







Regan mengendarai mobil dengan kalang kabut. Tak henti - hentinya ia menekan klakson mengisyaratkan kepada para pengguna jalan untuk menyingkir. Kakinya menekan pedal gas cukup dalam. Andai saja ia bertemu dengan polisi, mungkin adegan kejar - kejaran pun terjadi.

Di otaknya sama sekali tak ada lokasi lain selain bandara. Entah bagaimanapun caranya, ia harus segera tiba di Singapura hari ini juga. Meskipun ia harus berenang menyeberangi Selat Singapura, meskipun ia harus terbang meminjam sayap elang. Ia tetap harus tiba di Singapura.

Telpon yang ia terima beberapa menit lalu, membuat emosinya tersulut. Kesedihan menyeruak di dalam dadanya. Laksana kaca yang terbanting kemudian pecah berkeping. Hatinya hancur. Ia tak bergeming. Peluh menetes dari pelipisnya meskipun kendaraan itu ber-AC. Ia sama sekali tak mengharapkan tragedi ini terjadi. Tidak sama sekali. Sekilas terlintas suara terakhir dari Dinata melalui sambungan udara yang sempat ia terima tadi.


Flashback on*

"Halo?"

"Regan anakku. Jaga diri baik - baik. Papa tidak akan pulang lagi. Mungkin ini terakhir kalinya Papa dapat berbicara denganmu. Situasi di laboratorium bising. Ada kecelakaan yang terjadi. Kalau kamu bertanya kenapa Papa tidak menyelamatkan diri, jawabannya, Papa terkunci."

Duaar!!! Terdengar ledakan semakin menjadi - jadi di laboratorium itu.

"Uhukk - uhukk!! Nak..." kali ini suara Dinata bergetar, "arghh...uhukk... Papa... Sayang kamu..."

Duaarrr!!!

Tut.. Tut.. Tut...

Flashback off*


Regan mengerjap. Mendadak tubuhnya melemas. Ia menepikan mobil, berusaha menenangkan pikiran dan sebisa mungkin berpikir jernih.

Matanya menatap nanar lurus kehadapan. Ia mengepalkan tangan kuat - kuat. Meredam seluruh emosi dan rasa sakit dihatinya hingga buku - buku jari itu memutih.

"Arghh!!" teriaknya parau. Berkali - kali ia membenturkan kepala ke stir mobil seraya meninju ke segala arah.

Isak menyedihkan itu keluar dengan sendirinya. Hatinya teriris. Ternyata, ini yang dinamakan kehilangan. Sakitnya tak sebanding daripada harus terjun dari lantai 17 sebuah gedung apartemen. Regan mendung. Badai tengah merundung dirinya saat ini. Air matanya deras mengalir meskipun ia seorang lelaki.

Ayahnya tiada. Anak mana yang hatinya sama sekali tidak terpukul dengan kepergian Sang Ayahanda tercinta? Jika ada, berarti dia bukan seorang manusia.

Pada kenyataannya, Regan mengakui bahwa dirinya memang tak cukup dekat dengan Sang Ayah. Namun hanya Ayahnya lah yang ia punya. Kepergian Dinata, membuat batin Regan tersiksa. Di dunia ia sudah hidup sendiri tanpa Sang Ibunda. Tak peduli meski Dinata lebih sering berpergian mengurus segala kesibukannya. Tapi ia tetap Ayah Regan. Satu - satunya keluarga yang ia punya.

Sekarang? Kemana lagi langkahnya akan menuju? Dua orang tersayang dalam hidupnya telah pergi meninggalkannya sendiri. Hidup sebatang kara di dunia yang fana ini. Menyesal mengapa dahulu ia tak menjadi anak yang baik hati dan selalu manja dengan Dinata, jika pada akhirnya ia akan kehilangan sosok Ayah secepat ini. Bahkan, belum sempat ia mengucapkan kata 'sayang' kepada Ayahnya.

REGAN [Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang