Pelangi

796 74 64
                                    


Hope you like it...









***










Dunia masih berada dalam titik kewajarannya. Tak ada yang berubah seiring dengan memutarnya waktu selepas kejadian seminggu yang lalu. Pemakaman, duka, dan kehilangan bercampur menjadi satu.

Langit masih indah meskipun hatinya tengah gundah. Sang surya masih bersinar meskipun sorot matanya dipenuhi nanar. Angin masih berhembus meskipun raganya sama sekali tak terurus.

Dengan langkah gontai ia berjalan memasuki pelataran sekolah. Tak ada sedikitpun senyuman pagi ini. Atau lebih tepatnya, tak ada senyuman selama seminggu ini. Ketampanannya tak runtuh meskipun dirinya tengah murung. Sapaan dari beberapa kawan sama sekali tak dihiraukan. Hanya berjalan, menatap lurus, dan berharap hari ini segera berakhir.

Perlahan hatinya mulai diselimuti oleh perasaan kebencian terhadap dunia. Ia benci mengapa harus dilahirkan, ia benci mengapa harus ada kehidupan. Jika keadilan sama sekali tak memihak, jika keadilan sama sekali tak hinggap. Ah, sudahlah. Memikirkan hal - hal yang sudah benar - benar terjadi rasanya sia - sia. Berharap tak ada kehidupan tapi pada kenyataannya ada.

"Regan!" suara itu, suara yang selama seminggu ini selalu ia rindu terdengar digendang telinganya. Samar - samar, sudut bibir kanannya terangkat. Namun mati - matian ia tahan agar tak mengembang kian lebar.

Gadis itu mendekat. Nampak lucu dengan model rambut barunya. Yang awalnya panjang mengenai pinggang, kini setara dengan bahu. Regan mengerutkan alis. Menatap cukup lama gadis dihadapannya ini.

"Gimana?" tanyanya dengan wajah ceria.

"Gimana apanya?" balas Regan dengan nada menggoda.

"Rambut gue! Gimana? Cocok nggak?"

Regan berdeham cukup lama. Sembari menopang dagu, ia melihat Lalora dari ujung kaki sampai rambut berkali - kali. Berlagak seperti juri top model yang tengah menilai penampilan peserta.

Lalora menunggu jawaban dari Regan dengan wajah berbinar. Berharap, jawaban darinya sama dengan apa yang dipikirkan Lalora saat ini.

"Nggak, jelek. Lo kayak anak paud." jawab Regan akhirnya dengan acuh.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Merasa kecewa karena apa yang ada dipikirannya sama sekali tidak terjadi. Sedikit menyesal mengapa ia harus memotong rambut panjangnya seperti ini. Dan semakin menyesal, mengapa ia harus menanyakan pendapat kepada manusia psikopat dihadapannya ini? Persetan.

"Biarin. Berarti tandanya gue masih imut - imut, wlee!" setelahnya, ia lantas berlari meninggalkan Regan yang tanpa sadar mengembangkan senyuman utuh disana.

"Heh Beo! Mau kemana!" teriaknya masih dengan senyum menawan itu.

"Mau main perosotan! Kan gue anak paud!" teriak Lalora dari jauh.

Regan menggelengkan kepala dan terkekeh kecil. Terkadang, ia merasa begitu gemas dengan gadis ini. Gadis yang tidak terkenal, gadis yang senangnya memakai jaket rajut, gadis yang kelihatannya pendiam tetapi pada kenyataannya gemar mengoceh seperti burung beo. Hanya dirinya saja yang tahu, seberapa istimewanya gadis itu sebenarnya. Yang terlihat biasa saja, akan tetapi memiliki ribuan keindahan yang tersembunyi dibaliknya.

REGAN [Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang