Kepingan Puzzel

2.1K 123 37
                                    


Hope you like it...





***








Parau. Teriakan paraunya membuat Liona serak ditiap suara yang ia keluarkan. Ia tak tahan. Ia tak tahan dengan sakit yang bertubi - tubi menyesakkan perutnya. Berharap penyebab rasa sakit ini segera lenyap. Berharap semua kembali tenang dan senyap. Setelahnya, hanya ada kebahagiaan yang hinggap.

Ia menangis. Merasakan seluruh tubuhnya mati rasa akan rasa sakit. Digenggamnya tangan Dinata kuat - kuat. Menyalurkan seluruh rasa sakitnya kepada sang suami. Berharap mereka berdua dapat berbagi rasa sakit bersama.

Para medis dengan sigap menggelandang bangsal yang membawa tubuh Liona. Dinata masih setia disamping sang istri menenangkan dengan lembut ditiap engahan nafasnya. Dalilah berlari - lari kecil mengikuti para medis yang membawa bangsal Liona dengan perasaan was - was. Air mata pun tak henti - hentinya mengalir menghiasi pipinya.

Liona segera dibawa masuk ke ruang operasi. Dokter melarang Dinata untuk ikut serta. Dinata yang tengah kalut itu tak bisa sedikit saja menahan emosinya. Ia murka. Mengapa ia tidak diperbolehkan menemani sang istri disaat krisisnya? Mengapa?!

"Saya mau menemani istri saya Dok!" teriaknya serak.

"Maaf Profesor, sebaiknya anda menunggu di luar. Biar istri anda kami tangani. Berdoa saja semoga istri anda dan calon anak anda selamat." jawab Dokter itu dengan tenang seakan mengerti bahwa Dinata tengah panik saat ini.

"Bedebah! Kalau saja istri dan anak saya tidak selamat, saya pastikan rumah sakit ini tidak akan beroperasi lagi selamanya!"

Dokter itu mengangguk tanpa sedikitpun memasukkan ucapan Dinata kedalam hatinya. "Iya Profesor. Percayakan anak dan istri anda kepada kami. Doakan yang terbaik. Kami akan berusahan semaksimal mungkin. Saya permisi." usai mengucapkan itu, sang Dokter bergegas memasuki ruang operasi. Menangani Liona yang seperti tengah diujung tanduk meregang nyawa.

Dinata terkulai lemas. Tak henti - hentinya merapalkan doa demi doa untuk keselamatan istri dan calon anaknya.

"Sabar Tuan. Saya yakin Nyonya Liona dan bayinya selamat. Nyonya itu wanita tangguh Tuan," ujar Dalilah menenangkan.

"Saya tau Dalilah. Diamlah." balasnya ketus.

Satu persatu pelayan rumah Dinata tiba di rumah sakit. Sama was - wasnya dengan sang Tuan. Menunggu dengan hati berdebar istri dan kelahiran calon anak Tuannya ke dunia luar.

Selepas 2 jam lamanya menunggu. Dokter keluar ruangan dengan wajah yang begitu cerah. Dinata berdiri dari duduknya. Menghampiri sang Dokter dengan raut muka penuh harap akan kabar baik tiba.

"Selamat Profesor Dinata, anak anda lahir dengan normal. Laki - laki. Tampan sekali," ucap Dokter tersebut dengan tersenyum.

"L-lalu, istri saya?" tanyanya yang terbata, seakan lupa akan daratan akibat terlampau bahagia.

"Istri anda selamat. Tinggal menunggu siuman karena masih terpengaruh obat bius."

Setitik air mata turun dari pelupuk mata Dinata. Dalilah dan para pelayan lain mengucapkan syukur bersamaan. Dinata merosot. Ia bersujud mencium lantai keramik rumah sakit, mengagung - agungkan nama Tuhan disetiap syukur yang ia panjatkan. Melihat itu, membuat Dalilah dan sebagian pelayan lain menangis haru.

REGAN [Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang