00.04 : mundur?

141 21 1
                                    

"jangan deket-deket Dewa,"

Elsi berhenti melangkah. Ia menoleh sedikit mendongak menatap Mahesa dengan alis terangkat.

"kenapa?" tanya Elsi penuh selidik.

Belum sempat Mahesa menjawab perntanyaan itu, Elsi menutup mulut dramatis dengan mata membulat sempurna. "Ah... Jangan-jangan... Lo suka ya sama gue???" tunjuknya tepat didepan wajah Mahesa.

Mahesa mendengus, lalu menurunkan telunjuk Elsi. Ia menarik ujung bibirnya tersenyum sarkas, "kalau iya kenapa?" ujarnya enteng.

Elsi terperanjat. Otomatis ia memundurkan badan hingga punggungnya merapat ke dinding pembatas koridor lantai tiga.

Bahkan, perkataan Mahesa rasanya lebih seram dari suara kunti.

Tiba-tiba Mahesa tertawa. Tertawa puas hingga suaranya menggema di penjuru koridor.

Elsi bergedik ngeri. Melihat pemandangan didepannya persis seperti anime pyscopath yang tadi malam Elsi tonton.

Tangannya terulur meraih diam-diam penggaris plastik yang mencuat di ranselnya. Sebagai ancang-ancang jika Mahesa benar-benar kesurupan.

"Dewa rival kita. Menurut lo apa yang bakal orang pikirin kalo lo nempel terus sama lawan lo?" jelas Mahesa sambil kembali melangkah menuruni tangga.

Elsi menoleh lagi, "gue cuma jalan biasa kok, tadi juga dia yang nawarin bantuan ke gue." bela Elsi tak mau disalahkan.

"terserah lo."

Elsi tersenyum kemenangan. Setidaknya kali ini ia menang.

Elsi mengekori Mahesa yang makin mendekat kearah bawah pohon didekat labor.

Disana ada dua pohon rindang yang rantingnya saling menyahut seolah-olah dijadikan atap. Meja dan kursi dari semen yang dibuat berbentuk batang kayu. Tempatnya cukup menjorok kedalam. Kalau kata Bima bisa buat tempat zina. Astagfirullah.

"kok pocin sih namanya?" Elsi akhirnya tidak tahan untuk bertanya.

"pondok cinta." jelas Mahesa sembari mengambil tempat mengarah jalan.

Elsi manggut-manggut mengerti. "tempat mojok dong?" tanyanya lagi. Iseng.

Mahesa hanya berdehem membenarkan.

"jadi kita?"

"apa?"

"jadi kita mojok bukan??" Elsi tersenyum meledek.

Mahesa mengangkat wajah. Menatap garang pada Elsi. Sedangkan gadis itu tertawa puas sambil menepuk tangan heboh.

Mereka akhirnya menyusun beberapa visi, misi, dan program kerja yang akan mereka paparkan senin nanti saat kampanye setelah upacara.

Tak jarang ide-ide dari Mahesa disanggah mentah-mentah oleh Elsi karna pemikiran mereka yang bertolak belakang. Sesekali mereka adu argumen namun keduanya masih bersikap sportif.
Tak mau menanggapi dengan kepala panas.

Langit makin menampakan semburat oranye. Lapangan yang tadinya diisi oleh beberapa siswa untuk sekedar berkumpul pun tampak makin sepi.

Jam menunjukan pukul 05.25. Mahesa menutup buku kecil berwarna hitam itu lalu mengumpulkan beberapa kertasnya.

"lo tinggal tambahin program kerjanya. Visi misi biar gue yang atur." ujar Mahesa sembari memakai jaket jeans hitamnya.

"kalo ada yang mau diskusiin chat atau vidcall gue, tapi dibawah jam sepuluh." ujarnya lagi.

epilogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang