"HARUSKAH KU MATI KARENA MUUUUUU"
Speaker portable milik Jiya kini beralih tangan pada pemuda yang berdiri di depan kipas sembari memegang sapu, berteriak seolah sedang berada di panggung besar.
"Kenapa lagi dia?" bisik Elsi pada Lala yang sibuk pada lembar kuis dihadapannya.
"biasa, abis liat Aca dianterin anak kelas sebelah"
"loh? bukannya udah jadian?"
Lala menoleh pada Elsi dengan raut bingung, "Kata siapa? si Bayu doang yang bilang udah, Aca biasa aja."
"lagian, kalo gue jadi Aca mending gue milih yang waras daripada yang begitu," lanjut Lala mengangkat dagu kearah Bayu yang masih bernyanyi didepan kipas.
Elsi hanya menipiskan bibir maklum dengan jawaban Lala.
Suara ketokan pintu dua kali mengintrupsi segala kegiatan didalam sekre kecil itu. Gadis dengan kucir kuda yang masih mengenakan seragam SMP tampak berdiri diambang pintu dengan canggung. Matanya mencoba memindai penghuni ruangan kecil itu walau jelas ia terlihat gugup.
"kamu..... nyari siapa??" Elsi mendekat sedangkan gadis itu hanya tersenyum kaku.
"anu, ada kak Mahesa ngga ya kak?"
"oh, dia lagi di wakasek. ada yang mau di sampein ga?"
"oh.... kalo gitu.... kak Elsi ada gak?"
Elsi terkekeh kecil, "aku Elsi...."
Gadis itu tampak agak terkejut, dengan canggung ia menyodorkan paper bag motif kelinci ke hadapan Elsi. di detik pertama Elsi sempat tercenung bingung, namun akhirnya ia menerima uluran dari gadis itu.
"Aku nitip ini ya, kak. bilang aja dari Anin,"
"okey, Anin."
"Kakak pacarnya kak Mahesa, ya?"
Mata Elsi membulat otomatis dengan senyum menahan tawa. Lalu ia menggeleng keras sebagai jawaban.
"Aku temennya."
"Masa sih? tapi kontak kakak di hp Esa pake emot kelinci sama mawar..."
Mata Elsi kembali membulat, bedanya kali ini dua kali lebih lebar dengan mulut sedikit menganga. Ia terkejut dengan informasi barusan, namun beberapa detik kemudian ia kembali menghapus kemungkinan-kemungkinan aneh dikepalanya.
Elsi tertawa kecil, lalu menepuk pundak gadis didepannya lembut.
"Makasih ya, Anin. nanti aku sampein ke Mahesanya."
Anin mengangguk lalu berbalik pergi menuju arah kantin.
Elsi mengangkat paper bag kecil ditangannya dengan pikiran berkecamuk. Jujur, Elsi sendiri bingung dengan situasi saat ini. Sisi lain dari dirinya menerima segala kemungkinan dan anggapan dari orang sekitarnya tentang ia dan Mahesa. Namun, masih ada sisi lainnya yang menolak keras semua itu, mencoba lebih realistis.
Jujur, satu tahun ia sebagai partner organisasi Mahesa, gadis itu bukan hanya melihat sosok Mahesa yang tegas dan cerdas. Ada banyak sisi lain yang mungkin hanya Elsi dan orang terdekatnya yang tau. Misal saja sosoknya yang memberi afeksi tak terduga pada Elsi dengan berbagi cara di luar nalar. Atau, sosoknya yang diam-diam menghapal kebiasaan kecil Elsi.
Dan dari tiga ratus enam puluh lima hari tersebut, tak mungkin tak sekali pun Elsi berpikir tentang hubungan mereka.
Puncaknya, malam setelah obrolan di warung bakso. Elsi tau mungkin perkataan Mahesa saat itu hanya candaan untuk membuatnya jengkel. Namun, Elsi lebih jengkel karna dua kata itu malah membuatnya uring-uringan seminggu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
epilog
Ficção Adolescenteosis cuma bikin capek? bikin kangen juga. copyright ©juicyjaem