00:21 ; buryam

70 12 0
                                    

Ruang sempit yang sebelah laboratorium tempat pelaksaan rapat lagi evaluasi kerja bulanan kini tampak riuh dengan gerutuan dan decakan frustasi dari beberapa orang.

Muka lusuh dan panik tercetak jelas dimasing-masing wajah mereka, dengan tangan sibuk membuka ponsel menghubungi seseorang.

Elsi duduk didepan pintu dengan beberapa anggota bidang koordinasi dan Dewa, sibuk menghubungi pihak pemateri.

Elsi mengigit bibir bawahnya dengan kaki menyilang yang bergerak tak tenang, berulang kali ia menghubungi nomer Mahesa namun nihil tak ada satupun jawaban.

"ada yang punya nomer telpon rumahnya gak? Coba tanyain udah berangkat apa belum." Elsi bertanya pada siapa saja didalam sana.

Dewa mengangkat kepala kemudian jarinya terulur menunjuk gadis tinggi yang tampak sibuk dibelakangnya.

"Thia punya tuh," katanya.

Elsi buru-buru beranjak dari duduknya menghampiri sang kakak kelas disudut ruangan.

"kak, ganggu bentar." intrupsi Elsi tenang.

Thia menoleh lalu membuka mulut mengucap kata 'kenapa' tanpa suara.

"minta nomer rumahnya mahesa dong," pintanya.

Thia mengangguk lalu merogoh kantung celana jeansnya meraih ponsel.

"udah." kata Thia.

Elsi mengangguk tersenyum tipis sebagai terimakasih lalu berjalan menjauh dari keributan didalam ruang sempit itu.

Baru saja ponsel ditangannya akan ia tempelkan didaun telinga, sorakan menyeru namanya membuat kegiatan Elsi terjeda.

Elsi dengan berat hati terpaksa membalik badan mencari siapa pemilik suara berat itu.

"Elsi, gimana kalo kita lanjut aja? takutnya keburu sore." saran salah satu anggota bidang koordinasi.

Elsi menjauhkan ponselnya yang masih berbunyi tanda dering, lalu mengulum bibir kedalam dengan kening berkerut.

Elsi menggaruk keningnya ikut frustasi, lalu memutuskan sambungan diponselnya dan beralih mencari nama Mahesa di chat.

Jempol Elsi menekan tombol perekam suara disudut kanan dengan wajah meragu, namun tak urung tetap ia melanjutkan niatnya.

Elsi melepas jarinya dari layar lalu voice note pun terkirim dengan tanda centang dua tak berwarna.

Elsi menarik napas panjang lalu menghelanya dengan berat seakan membuang segala kepenatan didalam otaknya.

"udah, ubah aja gue udah bilang Mahesa, kalau bisa lima menit lagi acara udah mulai ya, snack langsung bagiin aja takutnya pada banyak yang gak sarapan 'kan?" jelas Elsi yang diangguki gadis berkacamata didepannya.

Elsi memejamkan mata sejenak lalu memijit keningnya demi menenangkan diri.

Pagi ini rasanya benar-benar menguras tenaga dan pikiran Elsi bahkan sebelum kegiatan dimulai. Ditambah lagi malamnya Elsi tidak mendapat waktu tidur yang cukup karna gangguan dari sosok yang hari ini menghilang entah kemana.

Getaran pada ponselnya membuat Elsi tersadar dengan malas ia membaca satu nama yang tampak dari pop-up notificafionnya.



Mahesa
Sii, ke parkiran.

Elsi
Ngapain, buru sini lo kak udh telat nih.

Mahesa
Bantuin dulu, tangan gue cuma dua.

Elsi
yang bilang tangan lo sepuluh siapa?

Mahesa
mau bantuin gak? atau gue nyuruh pak de nih?

epilogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang