Elsi mendudukan diri dikursi pinggir lapangan ditemani Bima dan Raden yang masih sibuk menonton permainan futsal dadakan di jam kosong, tentu dengan rusuh. Sesekali mereka berkomentar layaknya seorang komentator sepak bola. Sedangkan Haris katanya ada ngumpul dadakan eskul basket.
Elsi menatap lurus ke lapangan tanpa minat. Bahkan telinganya seakan tuli tak mendengar grasak-grusuk di kiri dan kanannya.
Masih tentang kemarin.
Tawaran Dari Mahesa sebenarnya cukup menggiurkan—ah, atau sangat menggiurkan karna ini langkah awal yang bagus.
Sebenarnya, apa sih yang membuat Elsi ragu? Toh, kegiatan ini tidak sia-sia. Apalagi ia langsung dicalonkan menjadi wakil ketua Osis. Bahkan prestasi ini bisa memudahkan Elsi untuk masuk perguran tinggi kan? lalu apa? Ragu dengan effort kerja Mahesa? tentu tidak. Bahkan tanpa pemungutan suara pun Elsi tau 80% suara condong pada Mahesa. Jawabannya jelas. Program kerja yang jelas dan kecerdasannya dalam merangkul seluruh warga sekolah.
Jadi? Untuk apa Elsi ragu?
Ah, satu hal. Baru gadis itu sadari.
Benar kata pepatah. Tidak ada manusia yang sempurna. Jelas sekali kini Elsi menyadarinya.
Mahesa cukup tampan, pintar, tegas, cerdik? Lalu apa yang kurang?
Judes. Menyeramkan.
Entah itu opini publik atau hanya dirasakan Elsi seorang.
Mungkin, jika yang mengajukan diri menjadi calon pasangannya dua hari lalu sosok Dewa. Tanpa ba-bi-bu Elsi langsung gas.
Tapi, ini Mahesa.
Membayangkan harus ada disamping Mahesa dalam satu periode cukup membuat ubun-ubun Elsi memanas.
"cilor yuk," ajakan Bima membuyarkan lamunan Elsi.
"hah? udah istirahat?" Elsi menegak menatap punggung Raden yang menghilang di belokan koridor.
"udah, cilor gak?" tanya Bima mengulangi.
"belinya diluar? pagar buka?"
Bima menyungging senyum, "amanlah. cilor sekarang bisa delivery." ujar Bima enteng. Dibalas anggukan kecil dari Elsi.
"Haaaahhh...." hela Elsi keras seakan bebannya ikut terangkat.
Bima menoleh, menatap bahu Elsi yang kian merosot. Menampakan suasana hati gadis berpipi merah disampingnya ini mungkin tengah mendung.
"kenapa? masih galauin kak Mahesa?" tanya Bima gamblang.
Elsi melotot tajam. Segera ia bekap mulut Bima khawatir orang-orang yang berlalu-lalang didepan mereka akan menyalah artikan.
"ngomong yang bener,anjir!" kesal Elsi mendorong wajah Bima.
"maju aja maju, kan enak gue ada 'pegangan' anak osis," enteng Bima.
Elsi mendecih tak peduli.
"serius, maju aja. Apasih yang bikin lo sebimbang ini? Kak Mahesa itu jelas kompeten. Kalau lo takut kalah pemilihan, gak akan! Sebagian besar suara condong kekalian. Etos kerjanya ngga diraguin lagi, mungkin lo bisa sekedar numpang nama." kalimat terakhir Bima jelas membuat Elsi sedikit kesal.
Lagi-lagi gadis itu hanya menghela napas gusar.
"ngomong dong anjir, kayak ngomong sama kipas kosmos gue. Cuma denger suara angin." kesal Bima.
Elsi menoleh malas, "apa?!" sarkasnya.
"gak usah takut. Yakin aja! Prestasi ngga melulu soal angka atau sertifikat olimpiade. Lagian gak bosen lo? Tiap taun adu bacot di kampus orang?" Bima masih setia dengan argumennya.

KAMU SEDANG MEMBACA
epilog
Teen Fictionosis cuma bikin capek? bikin kangen juga. copyright ©juicyjaem