Part 26

2.8K 96 1
                                    

Aku menangis semalaman dikamar.

Kali ini benar-benar sakit,
Sangat sakit, batinku sakit, jiwaku sakit, fisikku sakit, semuanya sakit.

Aku mengunci diri di kamar semalaman.

Aku juga memutuskan untuk tidak sekolah.

Willy dan Onad sudah menghubungi aku berkali-kali, tapi tidak aku angkat.

Aku tau mereka khawatir, tapi kali ini aku ingin sendiri.

Aku rasa Ayah sudah pergi ke kantor, Irene? mungkin dia pergi dengan teman-temannya. Dirumah hanya ada aku dan pembantuku.

Selama Irene tinggal disini, dia hanya bisa mengatur aku kalau aku tidak menurti maunya dia pasti mengancamku, dia juga selalu pergi dengan teman-temannya setelah ayah pergi ke kantor.

Aku belum makan dari pulang sekolah kemarin. Aku gak lapar sama sekali, hanya ingin berdiam diri dikamar saja tanpa seorangpun bisa mengganggu aku disini.

Bahkan tidur ku saja tidak nyenyak semalam, seluruh badanku sakit, hanya tidur satu jam mungkin, itupun hanya tidur ayam, bukan tidur pulas, sisanya aku duduk di meja belajarku.

Mata sembab, wajah pucat, memar di pipi, luka di sudut bibir dan luka di sudut mata.

Aku tertawa palsu saat aku melihat diriku di cermin. Lucu sekali aku ini. Bisa-bisanya aku mendapat perlakuan seperti ini.

Aku kembali duduk di meja belajarku. Aku buka kotak pensil ku dan ku ambil cutter yang baru ku beli beberapa hari lalu untuk tugas sbd ku.

Aku tersenyum melihat cutter itu, kuarahkan ke lenganku sambil tersenyum dengan air mata yang menetes.

Aku mulai menggoreskan cutter itu di lenganku, awalnya sakit sih, tapi sakit ini tidak seberapa, lebih sakit batin, jiwa, dan perasaanku selama ini.

Beberapa goresan telah terukir di lengan kanan dan kiriku.

Tetesan darah ada dimana mana, di meja belajarku, dilantai, di baju ku, dan aku tersenyum sayu melihat sayatan yang aku buat tadi, lama-lama sakit yang ku buat ini rasanya seperti berteman denganku. Aku menikmatinya.

Ku letakkan cutter itu di meja, dan aku bersandar di kursi ku, menatap langit-langit kamar. Membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya, sembari aku merasakan nikmat sakit di kedua lenganku. Apa aku akan mati? Dan pergi bersama ibu atau malah tetap bertahan dengan kejamnya dunia padaku.

Suara gedoran pintu samar-samar aku dengar setelah 10 menit yang lalu aku mensayat lenganku, mataku berat untuk ku buka, lemas tak bertenaga.

Pintu di dobrak oleh Pak Satpam komplek katanya, dan diikuti oleh pembantu dan juga sahabatku Willy dan Onad yang masuk ke dalam kamarku.

"Astaga non Marsya! Ya Allah ini gimana pak" kata pembantuku yang masih samar aku dengar

"Sya! Marsya! Lo denger gue kan Sya!" kata Willy berteriak di dekat telingaku

"Sya! Lo kenapa nekat si Sya! Astaga, Pak tolong cari Taksi dong pak! cepetan" kata Onad

Wajahku mungkin sudah pucat seperti mayat karena kehilangan darah.

Aku merasakan tubuhku di bawa ke dalam mobil. Pembantuku memangku kepalaku, Onad memangku kakiku sambil memegangi kedua lenganku yang sudah di balut kain agar darahnya tidak menetes lagi, dan Willy duduk di depan.

"Pak ngebut dong, temen saya kritis nih!" kata Onad

Aku di bawa ke rumah sakit. Ditangani dokter dan tanganku di perban sambil infus darah.

Aku tidak apa-apa hanya sedikit kehilangan darah saja.

Ternyata aku harus tetap di dunia yang kejam padaku ini. Ibu tunggu Marsya ya. Kali ini Tuhan masih menahan aku di dunia yang kejam ini Ibu.

Broken Home [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang