Prologue

9K 562 30
                                    


Appeal•
—————

Di hari yang tidak terlalu cerah saat itu, gadis berperawakan mungil tengah berusaha menikmati setiap detik waktunya yang sedang menjemur kain di halaman samping rumah. Tidak sepenuhnya fokus memandangi jajaran kain yang terbentang dihadapannya, lantaran matanya sesekali juga melirik kearah sang adik tiri yang hanya mampu menatapnya dari jarak yang tidak begitu jauh diatas sana, mungkin yang saat ini tengah berpikir selagi balkon kamar hanya terdapat dirinya sendiri.

Gadis itu bahkan begitu menyayangi adik tirinya tersebut yang notabenenya hanya berbeda dua tahun darinya, hingga hati terkadang selalu melirihkan syukur sebab adik tiri perempuannya itu tidak kalah menyayanginya.

Senyum tulus gadis itu lemparkan begitu sang adik tiri melambai kecil kearahnya. Sementara yang melambai sedari tadi berkeinginan besar untuk membantu kakaknya dibawah sana.

Ah.. andaikan dia bisa. Sang adik sering bertanya-tanya pada diri sendiri prihal sebesar apa keberanian yang ia miliki diumurnya yang sekarang bahkan masih menginjak 16 tahun.

Lalu di menit berikutnya, gadis itu lebih memilih mengalihkan perhatian dari sang adik begitu matanya tanpa sengaja menangkap sosok ibu-ibu tua yang berhenti melangkah didepan pagar besi rumah yang hanya setinggi bahu orang dewasa.

Melihat sang ibu-ibu tampak tersenyum kearahnya membuat gadis itu tanpa sadar melangkah mendekati. Dalam pikirannya berusaha menebak, apa yang sebenarnya diinginkan ibu itu? Mungkinkah hanya sekedar ingin menanyakan alamat?!

Jaraknya semakin terkikis, sang gadis tanpa ragu membalas senyum ramah ibu tua tersebut seraya menyerukan suara lembutnya.

"Apakah ada yang bisa saya bantu,  ibu?"

Kening sang adik yang masih betah berdiri di balkon kamar perlahan berkerut, sebab hanya bisa menangkap suara sang kakak secara samar-samar. Hal itu sedikit membuat kesal karena entah bagaimana telah berhasil membuatnya merasa begitu penasaran dengan obrolan kedua orang itu.

"Aku hanya ingin meminta sedikit makananmu, jika kau tidak keberatan."

Mendengar jawaban yang diberikan, tanpa banyak berpikir, gadis itu bahkan sudah benar-benar mengerti apa maksud dari kalimat tersebut. Sesaat kedua manik matanya memancarkan rasa penuh iba dengan hati yang tergerak mengasihani dikarenakan sekelebat bayangan dengan cepat melingkupinya. Seandaikan ia berada di posisi sang ibu tua tersebut dengan umur yang sama tuanya, mungkin hal yang seperti itu juga lah yang akan ia lakukan.

Menggeleng kecil berusaha tidak mengulur-ulur waktu lagi, gadis itu perlahan berkata."Tunggu sebentar ya, akan aku ambilkan untukmu!"

Ibu tua itu tampak mengangguk senang seraya kembali menyerukan kalimat bermakna indah yang mampu menyejukkan hati."Kau gadis yang baik, aku berharap hidupmu juga akan selalu dipenuhi kebaikan. Kau pantas mendapatkannya. Ketulusan hatimu adalah penyelamat jiwa dan ragamu."

Hanya saja, gadis itu tidak benar-benar menduga sebelumnya. Padahal ia sama sekali tidak memiliki makanan apapun didalam kamar yang ia tempati, begitu juga dengan uang. Tetapi, bukankah sebuah ketulusan akan benar-benar disebut ketulusan jika kita berani berkorban?!

Yang ada dipikiran gadis itu saat ini, apa yang dimiliki oleh keluarga tirinya termasuk miliknya juga. Toh, uang yang digunakan juga sepenuhnya milik ayah kandungnya sendiri yang begitu ia sayangi.

Maka dengan penuh keberanian, salah satu tangannya perlahan bergerak membuka lemari khusus menyimpan makanan seperti roti, keripik hingga Snacks lainnya. Dengan cepat mengambil dua bungkus roti dan tidak lupa menyertakan sebotol air mineral untuk kemudian dibawa menuju sang ibu tua yang masih setia menunggu.

Hatinya sesaat juga bertanya, mungkinkah apa yang tengah ia lakukan saat ini sudah bisa dikatakan sebagai seorang pencuri?

Kaki gadis itu mendadak berhenti ketika mendapati sang adik tiri kesayangannya sudah berdiri di ujung tangga bagian bawah seraya melemparkan tatapan penuh tanya.

Tetapi, sang gadis hanya bisa melemparkan senyum kecil dengan anggukan sekilas sementara kaki kembali melangkah menuju pintu utama. Senyumnya mengembang dengan begitu indah menghiasi wajah, membayangkan bahwa ia pasti akan ikut bahagia melihat sang ibu tua bisa menikmati makanan yang diberikannya.

Hingga jarak kembali terkikis, dengan senyum indah yang masih setia terpatri, gadis itu menyerahkan makanan juga sebotol air mineral ditangannya kehadapan sang ibu tua yang memasang raut wajah penuh syukur.

"Aku hanya bisa memberi ini dan aku juga berharap makanan ini bisa membantumu."

Ibu tua itu mengangguk kecil, menerima apa yang telah diberikan dengan senyum penuh ketulusan."Ini sudah lebih dari cukup. Terimakasih,  anakku!"

Hal itu adalah sebuah penghargaan, karena setelah kedua orangtuanya meninggal, kalimat 'Anakku' untuk dirinya seolah telah punah dimakan waktu. Sang gadis hanya ingin menangis saja rasanya begitu sekelebat bayangan senyum hangat dari kedua orangtuanya perlahan menghampiri.

Tetapi, semua bayangan itu mendadak sirna ketika teriakan dari ibu tirinya dengan cepat menyambangi pendengaran. Kepalanya menoleh penuh takut setelah sempat kembali memandang kearah ibu tua dihadapannya. Matanya menangkap presensi sang ibu tiri yang tengah berdiri di depan pintu rumah yang terbuka bersama dengan kakak tiri yang begitu membencinya. Mendapati hal tersebut, maka yang hanya bisa ia lakukan saat ini berusaha menerima apa yang akan kedua wanita itu lakukan padanya.

Sebab tidak butuh waktu lama, gadis itu dengan cepat menyuruh sang ibu tua agar segera pergi dari rumahnya lantaran tidak ingin ibu tua tersebut juga terkena akibat dari apa yang telah ia lakukan. Sementara ibu tua itu hanya mampu menuruti walaupun berat rasanya untuk meninggalkan.

Hingga setelah memastikan ibu tua itu benar-benar sudah pergi, sang gadis sama sekali tidak memberontak ketika sebuah tangan tanpa belas kasihan meraup rambut sepunggungnya untuk kemudian ditarik secara paksa agar dirinya mengikuti langkah sang ibu tiri memasuki rumah.

Sempat melirik kearah kakak tirinya yang tampak melemparkan senyum serta tatapan penuh kemenangan dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada. Sementara sang adik tiri tanpa segan memalingkan wajah, sebab tidak tahan melihat kakak yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya itu menerima siksaan untuk yang kesekian kalinya dari sang ibu. Hatinya tergerak ingin menolong, tetapi keberanian yang dimilikinya tidak sebesar itu untuk menentang sang ibu.

"Gadis sepertimu itu benar-benar tidak tahu terimakasih. Seharusnya kau mati saja, ikut dengan kedua orang tuamu yang angkuh itu."

Jika saja bisa, mungkin dari dulu sang gadis akan memilih ikut dengan kedua orangtuanya. Tetapi, dirinya tidak sebodoh itu untuk menentang kehendak Tuhan yang masih menginginkan dirinya hidup dengan cara membunuh diri sendiri. Ini bukan sebuah pilihan, karena jika Tuhan yang berkehendak maka mau tidak mau harus menjalaninya dengan penuh kesabaran serta ketulusan. Percayalah semua akan indah pada waktunya.[]

....

Mungkin dari prolog-nya kalian akan berpikir bahwa alur cerita ini memiliki kesamaan dengan alur cerita seperti bawang putih dan bawang merah. Tapi, praduga seperti itu gak akan terjadi kalo ceritanya udah ditanganku. Tentunya aku bakal buat cerita yang jauh berbeda berkat imajinasi liar yang benar-benar sulit untuk ditebak. Bahkan aku sendiri juga ikut gak ngerti gitu, terlalu aneh. Mungkin.

Cerita ini aku publish buat ngehibur kalian yang masih setia nungguin 'Flattery'.😘😘

Ara💜

AppealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang