Faris menanti dengan tak sabar dimeja kantin. Dia sudah mengirim pesan pada Olin, jika dia menunggu di kantin. Faris harus menyiapkan diri untuk mendengar semua kebenarannya.
Hampir 5 menit berlalu, akhirnya yang ditunggu datang. Olin dan Abel serta Gariel dan Harsen berjalan dibelakang mereka. Tapi Faris tak mempedulikan itu, dia hanya ingin berbicara dengan Olin.
"Lo sesayang itu sama Reta?" pertanyaan langsung itu dilontarkan oleh Olin bahkan sebelum dia mendudukkan bokongnya di kursi kantin.
"Gue gak perlu menjawab pertanyaan lo itu, karena lo udah tau apa jawabannya".
Olin mengabaikan jawaban Faris, lantas segera duduk. "Pesenin gue makan dong, kek biasa ya" ujar Olin pada Harsen dan Gabriel.
"Gue mau disini nemenin--"
Sebelum kalimat Harsen selesai, Gabriel sudah menarik kerah baju Harsen untuk mengikutinya. "Mereka butuh waktu buat bicara biarin aja dulu" bisik Gabriel. "Dan gakusah ngebantah lagi" lanjut Gabriel.
Harsen menggeram kesal tanpa ada pilihan lain untuk mengikuti Gabriel.
"Well...Gue mulai cerita semuanya" Ujar Olin.
"Lo inget waktu lo pergi ke Jerman dan gak ngabarin Reta? Gue rasa lo selalu ingat itu, dan itu kesalahan pertama lo!" ujaran Olin menusuk tajam Faris
"Lo tau segimana khawatirnya Reta saat lo tiba-tiba hilang disaat dia lagi dilanda masalah besar dikeluarganya? Gue rasa lo gak tau soal itu. Reta mencari lo, ngehubungin lo. Tapi nihil. Terakhir lo bilang lo nemanin nyokap lo. Dan gue baru tau kalo lo nemenin nyokap lo sampe ke Jerman!"
Faris mendesah "Gue bisa jelasin soal itu"
Abel menatap sebal pada Faris, walau nyatanya ini bukan hanya salah Faris "Lo gak perlu jelasin ke kita, tapi jelasin ke Reta!" Abel mendelikkan matanya tajam.
"Memang begitu, lanjutin cerita lo"
"Sampai akhirnya Reta tau lo ada di Jerman. Hari itu, Reta datang ke kelas lo dan nyari lo dan dia dikasih tau teman kelas lo kalo lo lagi pergi ke Jerman. Reta gak sempat kasih tau alasan lo di Jerman karena dia mendapat telfon dari Kisya"
Ekspresi wajah Faris berubah, Kisya?
"Terkejut?" tanya Olin "Sama, gue juga terkejut. Gue gaktau apa yang di bicarain sama mereka. Tapi yang pasti, saat pulang sekolah Reta terlihat terburu-buru. Kita bahkan gak sempat nyegat atau bertanya sama dia. Dia seperti dikejar deadline" Mata Olin menerawang seberkas kejadian sebelum Reta kecelakaan.
Perlahan air mata Olin mengalir di pipinya. "Dan...Sorenya kita dapat kabar Reta kecelakaan, semua tampak seperti mimpi. Siang itu dia masih tertawa bersama kita, tapi sorenya, dia terbaring lemah diatas brankar rumah sakit. Wajahnya pucat, tubuhnya dingin. Apa yang lebih menyakitkan dari melihat itu semua pada Reta? Itu pertama kali gue menangis untuk orang lain yang bukan bagian keluarga gue! Gue gak pernah merasa serapuh saat gue lihat Reta begitu! Bahkan Abel, dia gak pernah mengalami luka yang berarti, karena gue menjaga dia. Karena dia sahabat gue! Tapi Reta, entah bagaimana semua terjadi?" Suara Olin menggebu-gebu, masih terasa kesedihan menyelimutinya. Sedangkan Faris, dia terdiam dengan mata yang memerah menahan tangis.
Sebuah nampan berisi makanan yang dipesan oleh Harsen dan Gabriel mendarat sempurna di meja mereka. "Lo bisa pergi sekarang, sesi cerita udah selesai!" Harsen berujar dingin tanpa menatap Faris.
Awalnya Faris akan tetap disitu dan menanyakan lebih lanjut, tapi Gabriel memberi isyarat pada Faris agar segera pergi dari sana. Gabriel belum mau menyaksikan pertumpahan darah antar saudara lagi. Berlebihan memang, tapi memang begitu nyatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Areta
Teen FictionSeorang gadis cantik bernama Areta Syakinara Archandra yang ditinggal mati oleh Orang tuanya dan harus tinggal bersama Mama dan Saudara tirinya. Seorang Areta yang tidak mengerti akan cinta, yang akhirnya merasakan pahit manisnya cinta. Akankah kis...