2

251 15 3
                                    

"Rio, Varo, ada yang ingin Mama sampaikan" ujar Sabina sesaat sebelum makan malam. Perhatian kedua putranya pun terarah kepadanya.

"Hm, sebenarnya Mama berencana menikah dengan seseorang" final Sabina akhirnya.
Varo dan Rio sontak saja membulatkan mata kaget.

"Dengan siapa, Ma? "

Sabina terdiam, ragu menjawab pertanyaan putra sulungnya.

"Om Haris, teman Ayah kalian. Masih ingat?" ucap Sabina ragu.

"Seriusan? Baiklah. Varo setuju kok, Ma" ujar Varo dengan senyum kelincinya.

"Rio? " tanya Sabina menyadari putra bungsunya tidak mengatakan apa-apa sedari tadi.

Dengan segera Rio tersenyum lalu mengangguk.

"Rio setuju aja. Asal Mama bahagia" ujar Rio dengan senyum yang sangat terlihat bahwa itu dipaksakan. Sabina tentu sangat tahu itu. 16 tahun ia membesarkan putra bungsunya, tentu saja ia tahu segala hal tentangnya.

"Ehm, Ma boleh Rio ke kamar? Kepalaku sedikit pusing" izin Rio memecah keheningan.

"Tapi, kamu kan belum... "

"Gak papa, Ma. Rio bakalan makan 2 kali lipat besok pagi" potong Rio sebelum Mamanya menyelesaikan kata-katanya.

"Baiklah. Cepatlah tidur. Perlu Mama temani tidur? " tawar Sabina lalu bangkit dari duduknya.

"Gak usah, ma. Rio mau langsung tidur aja" tolak Rio.

Rio segera menuju kekamarnya. Meninggalkan Sabina yang masih bergeming ditempatnya.

"Ma, duduk aja lagi. Rio pasti cuman pengen nenangin diri. Biarkan aja, Ma" ujar Varo lembut.

"Tapi, nak. Rio... "

"Ma, tenang aja. Nanti Varo yang akan kekamar Rio. Tenang aja, Ma" ujar Varo meyakinkan Mamanya.

Sabina menghela nafas berat lalu duduk kembali di kursinya.

☜☆☞

Rio terdiam dikasurnya. Ia menaruh dagunya dipinggiran jendela kamarnya. Sesekali ia menghela nafas. Ia kemudian menengadahkan kepalanya menatap pada salah satu bintang yang diyakininya sebagai arwah Ayahnya.

"Yah, Rio rindu Ayah. Kenapa Tuhan cepat banget ngambil Ayah? Padahal Rio masih butuh Ayah. Ayah, kembalilah. Mama akan nikah lagi. Ayah, Rio takut" lirihnya.

TES

Air mata lolos begitu saja dari pelupuk matanya. Ia menghapusnya segera. Tapi, bukannya berhenti, air bening itu terus saja turun dari pelupuk matanya dan kali ini ia membiarkannya terjatuh.

"Hiks"

Isakan kecil lolos dari bibirnya. Ia terisak sekarang. Ia menyembunyikan kepalanya pada lipatan tangannya. Terlihat jelas punggungnya bergetar. Siapa yang tidak kasihan melihatnya menangis seperti itu.

"Ayah, hiks...."

CEKLEK

"Ri," panggil seseorang tepat di depan kamar Rio.

Rio tahu siapa itu, tapi ia masih bertahan dalam posisinya. Orang itu mendekatinya lalu duduk dibelakang Rio.

PUK PUK PUK

Orang itu menepuk-nepuk punggung Rio berharap dapat menenangkannya.

"Cup cup cup, tenanglah. Jangan nangis. Nanti Mama khawatir sama kamu" bujuk orang itu.
Rio mengangkat kepalanya lalu berbalik menatap orang itu.

Really [Lokal Vers] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang