19

121 9 2
                                    

Tak terasa sudah berhari-hari ia tinggal di rumah itu. Tidak. Bahkan tempat itu tidak layak disebut rumah baginya.

Tubuhnya kehilangan banyak berat badan. Pipinya terlihat makin tirus dengan tangan maupun kaki yang seperti tulang berlapis kulit saja. Bagaimana tidak? Pola makannya tidak teratur. Bahkan, ada saja hari dimana ia tidak makan seharian kemudian berarti meringis kesakitan sepanjang malam.

Seperti saat ini, Rio menggeliat tak nyaman diranjangnya. Semalaman ia tak tidur nyenyak. Perutnya memberontak ingin diisi. Memberikan rasa nyeri yang mengundang mual. Ah, maag. Ia yakin sudah sangat parah. Bisa saja lambungnya sudah..., huh, tak perlu kulanjutkan.

Keringat dingin mengucur deras di dahinya, membasahi poni yang menutupinya. Miris, satu kata itu cocok dengan keadaannya sekarang.
Nafasnya terdengar berat dan pendek. Terlihat seperti orang yang mengalami sesak nafas. Oh, ayolah. Tidak adakah yang tidak kasihan melihatnya?

Ceklek

"BANGUN ANAK PEMALAS!!! KERJAMU SEKARANG BUKAN UNTUK TIDUR!!! BANGUN!!! " bentak seseorang yang dipanggil 'Mama' di rumah itu.

"Eunghh, Mahh, ma-hh-afhh, Riohh, hhh, sepertinya kuranghh, enak badanhh" jelasnya pelan dengan nada lemas dan nafas terputus-putus.

"Alah, tak usah alasan kamu!!! Kamu kira saya bakal percaya gitu?!! Bangun!! Sebelum saya seret kamu keluar dari sini!!! "

-dan ancaman itu berhasil membuat Rio terpaksa bangun dari tidurnya. Ia mendudukkan dirinya dengan gerakan yang sangat lemah.

"Cih, sok-sokan lemas kamu!!! Sini!!! Cepat kerja sekarang juga!!! "

Greeb

Sabina, sang Mama menarik putranya, ralat, anak yang dibencinya ke dapur. Bahkan saat ditangga ia tetap terburu-buru menarik remaja itu, tanpa peduli resiko kalau remaja itu bisa saja terjatuh. Ia tak peduli. Hati nuraninya telah tertutup sekarang.

"LAKUKAN SEKARANG!!! " bentak Sabina.

"Iya, Ma"

Dengan gerakan pelan, remaja itu, Rio segera menyiapkan sarapan dengan Sabina yang tengah mengawasi setiap gerak-gerik nya. Meskipun sesekali terdiam sebentar, menahan pening yang melanda, meskipun dihadiahi makian dari Sabina.

Rio kuat, kok. Percaya saja.

☜☆☞

Setelah seluruh keluarga Guinandra, ah ralat, kecuali satu orang telah menikmati sarapan pagi ini, mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Satu orang itu, Rio, harus membereskan bekas makan dari keluarganya. Perutnya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Sedaritadi meraung minta diisi makanan.

Ia menatap miris semua bekas piring yang ada di meja makan. Tanpa sisa. Sepertinya mereka sengaja melakukan itu.

Tes

Setetes air mata melucur tanpa permisi dari pelupuk matanya. Dengan segera ia menghapus air matanya.

"Gapapa, Ri. Yang sabar. Semua akan baik-baik aja. Doa aja terus sama Tuhan. Semua pasti ada hikmahnya, kok. Yang sabar, Ri" monolog nya pelan.

Ia tersenyum getir dengan batin yang benar-benar terluka.

"Kuharap keajaiban masih ada"

Rio mengelus perutnya yang terasa nyeri. Ia sangat lapar tentu saja. Perutnya belum di isi sejak semalam. Perutnya sudah sangat pedih sekarang. Maagnya sudah makin parah sepertinya. Tapi setidaknya Rio bersyukur, Dia belum kumat sejauh ini.

"Ayo, Ri! Semangat! Siapa tahu dengan kerja kerasmu, semua akan kembali seperti semula! " monolognya menghibur diri sendiri.

Baru saja Rio ingin melanjutkan pekerjaannya, seseorang memanggilnya tiba-tiba.

Really [Lokal Vers] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang