20

141 9 0
                                    

Di RS, Andra menatap gusar ruang ICU di hadapannya. Ini bukan shiftnya sehingga bukan ia yang memeriksa seseorang didalam.

Ya, Rio. Anak itu kumat lagi. Si Dia kembali berulah. Penyakit itu sudah makin parah menggerogoti tubuhnya. Paru-paru nya nyaris rusak karena komplikasi dan dia butuh donor paru-paru secepatnya. Dan kali ini, ia kembali mengalami gagal nafas setelah menerima telepon dari Ibunya.

Flashback on :

Rio sendirian di ruangannya dengan ponsel miliknya sebagai teman pengusir kesepian. Ia harus tinggal sendirian, karena Andra harus pulang untuk mengambil beberapa pakaian untuk dipakai di RS.

Drrrtt

Tut

"Halo? "

"Bagaimana? Masih mau buat masalah lagi? "

"Tidak, Ma. Maafin Rio"

"Maaf, maaf. Kamu kira maaf bisa balikin semua nya, huh?! "

Rio terdiam.

"Sepertinya, benar kata Candra. Kamu itu pembawa sial. Pertama Varo, lalu sekarang Candra. Mungkin besok-besok Saya yang mati"

"Ti-tidak. Bukan seperti itu, Ma"

"Kamu jangan berani pulang ke rumah! "

"Kenapa, Ma? "

"Alah, sudahlah. Jangan pernah kembali ke rumah. Kalau perlu tinggallah sama Andra, dan berhenti bawa kesialan buat keluarga saya!" ucapan menusuk itu sukses membuat Rio menangis.

"Jangan, Ma. Jangan usir Rio. Rio minta maaf, Ma. Tapi jangan usir Rio. Rio bakal berhati-hati mulai dari sekarang. Rio mohon, Ma" pinta Rio dengan suara bergetar.

"Tidak!! Keputusan Mama udah bulat. Ah, setiap kita bertemu jangan pernah panggil saya Mama! Bersikaplah seolah kamu tidak kenal saya! Ok?"

Tut tutt tuutt

"Hiks... "

"Hiks... "

"Hikss, Ayah... Kenapa mereka kejam sama Rio, Yah? Apa salah Rio? Hiks..."

"Hiks... "

"Hiks... "

"Arrgh!!! " Rio melengkungkan tubuhnya serta meremas bagian dadanya saat ia merasa nyeri pada area itu.

"Hiks... Eunghhh.... Hhh... Hhh... Sahh... Sakithh... "

Di ambang kesadarannya Rio berharap seseorang menemukannya sekarang. Namun semua hal tiba-tiba menjadi gelap baginya. Ia pingsan.

Ceklek

"Abang balik, Ri. Kamu gak- astaga Rio!!! "

Andra panik setengah mati melihat Rio yang tergolek lemah di ranjangnya. Sigap Andra mendekati Rio kemudian berusaha menyadarkannya dari pingsannya.

"Ri? Bangun Ri! Jangan buat Abang takut! Ri! Bangun! "

Andra menekan tombol merah yang berada di dekat ranjang Rio.

"Abang mohon, bertahanlah... "

Flashback off :

Ceklek

Andra sigap berdiri saat melihat dokter yang memeriksa Rio telah keluar dari ruang ICU.

"Bagaimana keadaannya, Dok? " tanya Andra gusar.

"Keadaannya benar-benar kritis. Paru-paru nya benar-benar rusak. Pasti karena tekanan stress. Ia secepatnya memerlukan operasi transplantasi" jelas Dokter Ira.

"Lalu, bagaimana dengan Aritmianya? " tanya Andra.

"Untuk saat ini sudah terkendali. Tapi aritmianya makin parah. Mungkin dia jarang meminum obatnya. Kalau kelamaan seperti itu bisa berakibat fatal" jelas Dokter Ira.

"Baiklah. Lalu pernafasannya? "

"Untuk saat ini pernafasannya masih sangat lemah, hingga terpaksa dilakukan instubasi. Tapi jika keadaannya sudah memungkinkan, instubasi tersebut bisa diganti dengan nassal canula. Tapi, Dra.... " kata-kata Dokter Ira tergantung.

"Ya? "

"Tidak menutup kemungkinan ia tidak bisa lepas dari nasal canula hingga operasi" lanjut Dokter Ira.

"Maksudmu, saat ini ia hanya bergantung pada nassal canula hingga operasi dilakukan? " tanya Andra kembali.

Dokter Ira mengangguk lemah sebagai jawabannya.

Bruk

Andra terlalu syok dan berakhir jatuh terduduk di depan ruang UGD.

☜☆☞

Varo tengah terdiam menatap langit malam yang luas. Ia merasa dejavu dengan hal ini.

Flashback on :

Varo sedang mempelajari anatomi tubuh manusia di kamarnya. Tak selang lama, tenggorokannya terasa kering hingga mengharuskan dirinya bangkit kemudian mengambil air minum di dapur.

Tap tap tap

Karena ia melewati kamar seseorang, ia mengintip masuk. Melihat kedalam dan menemukan seseorang yang duduk membelakanginya di atas kasur milik seseorang itu.

"Ri? Lagi ngapain?" tanyanya kepada seseorang itu.

Seseorang itu, Rio, menolehkan kepalanya.

"Eh, Bang"

Varo pun mendekat kearah Adiknya.

"Nah, kasih tahu Abang apa yang Adik kesayangannya Abang fikirkan" ujar Varo ke adiknya.

"Um, aku rindu Ayah, Bang" lirihnya

Varo terdiam sesaat.

"Sudah setahun lebih Ayah pergi. Kenapa Ayah ninggalin kita bang? Andai saja waktu itu Ayah nggak harus ngambil obat aku, Ayah pasti masih ada, kan?"

"Ri, jangan berbicara seperti itu. Abang tidak suka" tegur Varo dengan nada kesal.

"Maaf, bang" Rio menundukkan kepalanya.

PUK

"Tak apa, dik. Ayah cepat diambil, karena Tuhan sayang pada Ayah. Ini gak ada hubungannya sama kamu. Jadi jangan menyalahkan dirimu sendiri. Mengerti?" hibur Varo.

Rio mengangkat kepalanya. Menatap dalam manik obsidian Abangnya, menatap ketulusan di dalamnya.

"Iya Bang, maafin aku"

"Iya, gak apa-apa. Masuk sana! Cepatlah tidur! Besok kamu udah masuk sekolah. Jangan sampai kamu telat. Masa baru masuk udah buat masalah duluan? Kan gak elit. Ok?" ujar Varo sembari mengelus puncak kepala adiknya.

"Hehe, iya bang. Selamat tidur" pamit Rio lalu bangkit dari posisinya.

"Hm, tidurlah yang nyenyak"

Setelah Rio masuk ke kamarnya, Varo terdiam lalu menatap langit.

'Ayah, Varo telah menjadi dokter spesialis yang seperti Ayah harapkan. Jangan khawatir, Varo akan menyembuhkan Rio'

Varo kemudian menghela nafas lalu menuju ke kamarnya karena malam semakin larut.

Flashback off :

"Sebenarnya, apa hubunganku dengan anak sialan itu? Kenapa dada ini seolah merasa sesak ketika ia disiksa? Kenapa ingatan yang muncul dikepalaku kebanyakan tentang dia? Apa yang terjadi padaku sebenarnya? " monolog Varo.

Tbc

Hayoloh,, si Rio makin parah aja keadaannya
(。ŏ_ŏ)

Si Varo malah otw ingat semua ingatannya
(*´∇`*)

Gimana hayooo???

Really [Lokal Vers] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang