BAB 10

8.2K 310 15
                                    

-Josephine's POV

Ini adalah bagian yang paling menakjubkan di sepanjang hidupku karena bisa menaiki jet pribadi dengan begitu leluasanya. Aku tak habis-habisnya takjub dengan seisi pesawat ini. Kabinnya begitu luas, langit-langit yang tinggi, juga fasilitas kamar tidur yang tersedia layaknya hotel berbintang. Menariknya lagi, disini juga terdapat ruang makan mewah sekaligus tempat untuk bersantai menonton televisi. Aku bahkan kewalahan untuk menebak-nebak berapa nominal yang dikeluarkan Finn untuk membeli private jet-nya ini.

"Finn, boleh aku meminjam ponselmu sebentar saja?" Tanyaku dengan pelan berharap pria itu memberikannya.

"Lima menit," ucapnya menyodorkan ponselnya padaku.

Aku berdecak kegirangan dan segera membuka kameranya. Aku mulai memotret diriku dengan berbagai pose andalanku disetiap sudut pesawat dengan angel yang kuanggap menarik. Mengingat aku yang belum sempat mengabari Will soal kepergianku, mungkin sebaiknya aku mengiriminya pesan dari sini serta mengirim beberapa gambarku barusan agar dia percaya bahwasannya aku benar-benar pergi bersama Finn.

"Sudah selesai dengan aktivitas berfotomu?" Tanya pria itu saat aku mulai bergabung dengannya di meja makan.

"Terima kasih." Aku tersenyum singkat saat mengembalikan ponsel tadi padanya. "Jika ini tadi ponselku, mungkin aku akan menghabiskan waktu satu jam penuh untuk berfoto di pesawatmu ini," jawabku secara tidak langsung menyinggung soal ponselku yang telah dibuangnya. Meski aku masih kesal, untungnya keindahan pesawat ini dapat memperbaiki mood-ku yang rusak akibat perbuatannya tadi.

"Duduklah. Sebaiknya kita makan dulu karena perjalanan ini akan memakan waktu yang panjang." Dia berkata seraya menarik kursiku.

Akupun tersenyum tipis membalas sikapnya yang begitu manis dengan menarikkan kursi untuk kududuki. Aku tahu ini pencitraan, tetapi aku senang jika pelayan dan pengawal disini beranggapan kalau Finn sangatlah romantis kepadaku.

Semua makanan sudah tersedia dan tertata rapi di meja ini. Juga sebotol sampanye yang tak pernah tinggal untuk dikonsumsi pria di depanku ini sudah terpampang manis di depan kami.

"French onion soup, kau harus mencobanya," tuturnya menawariku.

Pria itu begitu lahap menyantap supnya, antara rasanya yang begitu nikmat atau dirinya yang begitu dilanda lapar. Sekarang giliranku untuk menyuap kuah sup tadi ke mulutku dan saat kucicipi ... sungguh luar biasa! Ini bahkan pertama kalinya aku merasakan masakan khas Perancis yang begitu lezat di lidahku. Tanpa malu-malu, aku menyuapnya lagi dan lagi ke mulutku seperti orang yang tidak makan berhari-hari.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Ujarku dengan mulutku yang penuh karena makanan.

"Kau bahkan terus bertanya setiap waktu."

"Um ... kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke North Carolina?"

Dia terlihat begitu santai, sepertinya ini bukan pertanyaan sulit baginya meskipun aku menunggu lebih dari lima belas detik untuk mulutnya bersuara.

"Aku ingin liburan."

Kontan aku menelan makanan yang masih tersisa setengah di mulutku. Dahiku mengerut seiring mataku yang menyipit memandangnya. "Jadi hal penting yang kau katakan saat di kampus tadi maksudmu adalah ... liburan???"

"Memangnya kau keberatan? Sepasang kekasih sesekali harus melakukan kegiatan liburan. Ini akan menambah kepercayaan publik atas kehangatan hubungan kita."

Lagi-lagi pria ini tak pernah lepas sedikitpun dari pencitraannya agar di input di media massa. Bahkan otak indahnya itu berpikir kalau liburan adalah hal yang paling penting daripada kuliahku, pekerjaanku dan juga menjaga adikku. Sungguh hidupku benar-benar tidak berguna dimatanya.

The Billionaire's DarlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang