Senyum dan air mata begitu mirip denganku, tidak ada yang terbatas pada perasaan tertentu. Aku sering menangis ketika aku bahagia, dan tersenyum ketika aku sedih. Kata-kata Anne Brontë itu terus menjalar di kepalaku disepanjang langkahku masuk ke restoran. Aku harus kembali memasang senyum terindahku disaat hatiku menolak melakukannya. Aku benar-benar tersesat pada perasaanku sendiri. Nyatanya, aku harus mengubur dalam-dalam harapanku. Diam mungkin lebih berarti segalanya saat ini. Bagaimanapun kedepannya, aku tetap akan menjalani transisi kehidupan dari yang selalu melihat Finn, hingga nantinya benar-benar menghilang dari hidupnya.
Baru saja sampai di ambang pintu, tiba-tiba sebuah panggilan masuk dari nomor tidak dikenal menghiasi layar ponselku. Akupun segera mengangkatnya sambil terus berjalan.
"Josephine, apa kau sudah sampai?" Dia bertanya dan aku kontan berhenti melangkah.
"Ah, iya. Ini aku Louis. Aku sudah menunggumu disini. Apa kau sudah sampai?" Tanyanya lagi setelah mengucapkan namanya.
"Oh, ya ... Louis. Aku sudah berada di depan pintu masuk, memakai dress hitam dan ... bisakah kau melambaikan tanganmu jika melihatku?? Disini benar-benar ramai orang."
Baru saja selesai berbicara, mataku langsung menangkap ke arah pria bersetelan jas hitam dengan kemeja hitam didalamnya tengah melambaikan tangan dan tersenyum hangat ke arahku.
Aku tersenyum kecil dan mempercepat langkahku untuk menghampirinya. "Maaf membuatmu lama menunggu," kataku dengan tergesa-gesa karena merasa tidak enak. Namun, pria itu justru membantu menarik kursi untuk kududuki.
"Tidak apa. Silahkan."
"Terima kasih."
"Kau mau makan apa?" Tanyanya padaku setelah sang waitress menghampiri meja kami.
"Aku ... sama denganmu saja," jawabku tanpa mau berpikir dan berlama-lama.
"Benarkah??"
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah."
Sejujurnya, baru di menit kelima aku dan Louis berada di satu meja yang sama, aku mulai merasakan gelisah tak menentu. Selama menanti makanan kami datang, aku hanya mengotak-atik ponselku tiada tujuan. Aku tidak tahu harus memulai perbincangan kami dengan topik apa. Apalagi pria itu kelihatannya dingin sekali dengan orang yang baru dia kenal. Akankah kencan pertama kami akan berjalan buruk dengan saling berdiam diri seperti ini? Tuhan ... rasanya aku ingin waktu berputar lebih cepat agar aku bisa segera kembali pulang.
"Apa kau menikmati pekerjaanmu, Jo??" Tanyanya membuka topik disela keheningan kami. Oh, syukurlah, akhirnya pria ini masih bisa diajak bekerjasama untuk mencairkan suasana kami yang sedaritadi begitu kaku.
Aku tersenyum kikuk. "Ya, tentu. Awalnya Tuan Will tidak menyukaiku. Tapi lama kelamaan aku rasa dia sudah tidak terlalu membenciku lagi."
"Bukan itu, maksudku ... hubungan palsu kau dan Finn. Apa kau menikmatinya? Atau justru keberatan menjalaninya?"
"Hah??" Aku terhenyak. Mataku membulat lebar selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali berkedip untuk menetralkan rasa keterkejutanku akan pertanyaannya yang seolah ingin tahu soal itu.
"Uhm ... aku ... ya, mau tidak mau harus kunikmati. Aku benar-benar membutuhkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar utang dan juga membiayai hidupku dan adikku," jelasku ragu-ragu. Aku sengaja membekam soal perasaanku kepada Finn daripada mengungkapkannya pada pria itu agar dia merasa nyaman menjalani sandiwara perselingkuhan ini denganku.
"Kalau saja aku bertemu denganmu lebih awal, aku pasti menawarkanmu pekerjaan yang lebih layak dengan gaji yang tak kalah besar, daripada kau harus bersandiwara seperti ini." Entah perkataannya bermaksud empati, akan tetapi bagiku itu cukup menohok hingga benar-benar menamparku ke bawah. Sudah kukatakan ini benar-benar memalukan, menyetujui tawaran sandiwara itu dengan beralaskan uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Darling
RomanceJosephine Clarke, seorang mahasiswi tingkat dua yang merangkap sebagai kakak juga ibu bagi adiknya yaitu Bily Clarke. Kehidupannya tidak berjalan mulus saat keputusannya meninggalkan Nashville untuk melanjutkan pendidikannya di New York University...