Kulihat arloji di pergelangan tanganku, waktu sudah menunjukkan jarumnya di angka sembilan. Aku segera menyimpan beberapa kertas yang berserakan di atas mejaku lantas memasukkanya kembali ke dalam laci. Aku mencoba menghubungi Jo terlebih dahulu, tetapi hasilnya tidak diangkat. Maka dari itu kuputuskan untuk langsung bergegas menghampirinya saja di apartemennya.
Saat aku membuka pintu, tubuhku nyaris melompat karena terkejut saat kulihat Stella sekretarisku sudah ada di depan pintu entah sejak dari kapan.
"Pak??" Sapanya agak kikuk.
"Stella!!" Teriakku tajam.
Sebelum aku lanjut mengomelinya dengan durasi lebih panjang, aku berdeham dua kali guna mengembalikan sikap berwibawaku yang sempat menghilang dihadapan Stella tadi. Memasang wajah sangar andalanku serta tatapan yang mematikan agar memberinya sedikit efek jera karena telah membuatku terkejut seperti barusan.
"Jika sekali lagi kau ada di depan pintuku tanpa bersuara, aku tidak akan berpikir panjang untuk memecatmu!" Bentakku dan dia tertegun beberapa detik.
"Ma-maf, Pak. Aku benar-benar tidak tahu kalau Anda akan keluar. Dan ... aku hanya ingin beritahu kalau besok Tuan Morte ingin bertemu Anda untuk membicarakan seputar kerjasama bisnis yang kemarin sudah Anda janjikan. Kira-kira pukul berapa Anda punya waktu luang untuk bertemu dengan beliau?" Tanyanya sesopan mungkin. Setelah itu dia menarik pandangannya ke bawah, berharap aku tidak lagi berlanjut memarahinya.
"Astaga ... kau benar! Aku hampir saja lupa kalau aku punya janji dengannya besok. Katakan saja padanya untuk datang ke kantorku setelah jam makan siang. Karena ada beberapa hal yang harus kukerjakan di pagi hari."
"Baik, Pak. Maaf sudah menganggu waktu Anda."
"Iya-iya kumaafkan. Aku sedang buru-buru saat ini. Aku pergi dulu," aku berkata lalu melewatinya dengan langkah tergesa.
••••
Sudah lebih dari lima kali aku mengetuk pintu apartemen wanita itu, namun belum juga kunjung dibukakan. Ditambah lagi dia tidak mengangkat teleponku sejak aku dalam perjalanan kemari hingga aku kesal bukan main.
"Kau ada dimana sebenarnya??!" Desisku sambil terus mengetuk pintunya.
Dan beberapa detik setelahnya, kudengar suara seseorang membuka kunci pintu dari dalam. Aku langsung menurunkan tanganku dan menanti sampai pintunya terbuka. Betapa jengkelnya diriku saat kutemukan Jo yang tampak santai saat melihatku tanpa memikirkan bagaimana diriku sejak tadi mengkhawatirkannya sampai membuatku sakit kepala.
"Finn?? Sejak kapan kau ada di situ??" Tanyanya heran. Matanya memerah seperti orang yang habis bangun dari tidur.
Untungnya aku masih memiliki sedikit sisa kesabaran untuk menghadapinya. Kalau tidak, mungkin aku akan segera memindahkannya dari apartemen primitif tanpa bel ini. Tanganku berhasil memerah akibat mengetuki pintunya.
"Sejak kapan katamu?? Kau tidak mengangkat teleponku sama sekali! Ditambah kau lama sekali membukakanku pintu! Sebenarnya apa yang kau lakukan??" Aku memekik dengan kesal.
"Astaga ... maafkan aku. Sejak pulang dari rumahmu, aku langsung tidur. Rasanya tubuhku lelah sekali seharian ini. Makanya aku sampai tidak dengar apapun saat tidur," jelasnya bersungguh-sungguh.
Ternyata dugaanku tadi benar. Dia benar-benar sedang tidur. Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk lanjut mengomelinya dan langsung menerobos saja ke dalam apartemennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Darling
RomansaJosephine Clarke, seorang mahasiswi tingkat dua yang merangkap sebagai kakak juga ibu bagi adiknya yaitu Bily Clarke. Kehidupannya tidak berjalan mulus saat keputusannya meninggalkan Nashville untuk melanjutkan pendidikannya di New York University...