Bab 3 : Perkenalan yang buruk

872 135 21
                                    

Keesokan harinya Dhara bangun lebih awal agar sempat menyiapkan sarapan untuk dia dan kakak angkat yang bersikap seakan tidak pernah ada pembicaraan mengenai Yara di malam sebelumnya.

Berbeda dengan cuaca kemarin, pagi suasana terlihat lebih sendu. Di mana matahari menghabiskan lebih banyak waktunya bersembunyi di balik gumpalan awan tebal. Sementara angin sesekali bertiup kencang, membawa dedaunan dan debu di dalam pusarannya.

Sampai di gerbang rumah sakit, Dhara masuk melalui UGD dan melihat ruangan itu kembali ramai  sama seperti hari sebelumnya. Hanya saja kali ini bukan ramai dengan pasien, tetapi dengan pengantar pasien yang masing-masing bertubuh tegap dan berpakaian rapi serba hitam.

Mereka semua berdiri mengelilingi satu bilik, di mana seorang pria tampak tak sadarkan diri. Kemejanya yang putih terlihat merah di beberapa bagian tubuh—terutama di bahu kiri—dan darah segar terus mengalir keluar memberi warna baru ke lantai putih UGD.

Hmm ... orang penting dengan luka tembak, pikir Dhara sekilas saat melewatinya. Rasa ingin tahunya tergelitik, tetapi ia menahan keingintahuannya setelah mendapat telepon dari ruang rawat yang menginformasikan kalau salah satu pasiennya dalam keadaan gawat.

Melangkah lebih cepat ia memindahkan tubuhnya dari UGD ke ruang rawat yang berada di lantai empat. Sesampainya di sana, salah satu perawat melaporkan kondisi pasien bernama Bapak Budi di ruang 401 dalam kondisi sesak.

"Sejak kapan sesak?" tanya Dhara kepada perawat yang mendampinginya berjalan menuju kamar pasien.

"Baru pagi ini, Dok."

Sambil berjalan, Dhara membaca dengan cepat status pasien. Pasien dengan gagal jantung, ya.

Sesampainya di kamar pasien, ia melihat pasien yang masih tersengal-sengal dengan sungkup oksigen menutup hidung dan mulutnya.

"Semenjak kapan Bapak seperti ini, Bu?" tanya Dhara sambil melakukan pemeriksaan kepada sang pasien.

"Pagi ini, Dok. Maaf, tadi Bapak mencuri minum sebotol air mineral ketika saya sedang ke kamar mandi," terang istri pasien dengan nada menyesal.

"Sebotol penuh?" tanya Dhara yang dijawab anggukan istri pasien.

"Bukannya dokter jantung sudah memberitahu batasan minum dalam satu hari?" Dhara tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Ia ingin marah kepada pasien, tetapi melihatnya kesulitan untuk memasukkan oksigen ke paru-paru membuat Dhara menahan diri.

"Lain kali minuman untuk Bapak tolong disembunyikan ya. Saya laporkan dulu kondisi Bapak ke dokter jantungnya."

Selesai melaporkan ke dokter penanggung jawab  dan mendapat instruksi. Ia memberi perintah kepada perawat dan lanjut memeriksa pasien lainnya sampai jam makan siang tiba.
.
.
.

Kembali setelah jam makan siang, Dhara kembali dari kantin menuju lantai empat menggunakan tangga. Ketika melewati ruang isolasi—yang dipikirnya kosong—seseorang mengetuk jendela besar yang memisahkan lorong dengan ruangan di dalamnya.

Ia menoleh dan mendapati seorang anak laki-laki berkepala botak berusia kira-kira sepuluh tahun menatapnya. Bibirnya membentuk senyum yang sangat tulus. Mulutnya terbuka sepertinya ingin mengajak bicara, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya.

Siapa dia? Aku baru tahu ada yang mengisi ruangan ini dan anak-anak lagi. Bukannya ini bangsal khusus pasien dewasa?

Di mana ibunya?

Dhara tampak celingukan mencari keberadaan sang ibu yang kemungkinan berada tidak jauh dari kamar ini. Namun, nihil.

Ia balas mengetuk dan memberi senyuman. Sebenarnya ia ingin berinteraksi lebih banyak dengannya. Hanya saja perhatiannya teralihkan ketika ia mendengar suara ribut diselingi isak tangis terdengar dari meja perawat.

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang