Bab 11 : Awal mimpi buruk

602 81 0
                                    

Suara letusan senjata tidak lagi terdengar. Suasana restoran yang sebelumnya bagai konser DJ yang lengkap dengan pertunjukkan kembang api, kini kembali senyap bagai gang perumahan di siang hari, di mana hanya ada suara bisik-bisik tetangga yang terdengar.

Beberapa anak buah Kei datang beberapa menit setelah pertarungan berakhir dan kini tanpa menunggu perintah, mereka segera menggiring musuh yang masih hidup ke dalam van hitam bersama dengan mayat teman mereka yang sudah terlebih dahulu dimasukkan.

Sedangkan suara bisik karyawan membuat Sean memusatkan perhatiannya ke pegawai restoran yang berpotensi melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian.

Sementara anak buahnya sibuk dengan kegiatan bersih-bersih. Kei menikmati emosi Dhara dari kejauhan. Setelah memastikan semua masalah teratasi, ia melangkah pelan ke tempat perempuan bermata bulat itu berpijak.

Bagi Kei, musuh adalah hal kecil yang bisa ia atasi dengan satu jentikan tangan. Namun, tidak dengan perempuan. Makhluk terindah buatan Tuhan itu adalah hal tersulit yang selama ini pernah ia hadapi. Ini adalah alasan kenapa ia tidak pernah dekat dengan perempuan, kecuali Dhara.

Berjalan memperpendek jarak, Kei tersenyum sinis saat melihat Dhara memandang dengan amarah. Mata bulatnya menyipit, kening dan kedua alis berkerut, serta bibir yang mendatar membuat Dhara terlihat semakin menarik di matanya.

Aku akui, dia memang perempuan biasa, tetapi dengan kemampuan bertahan diri yang luar biasa.

Mata Dhara mengikuti gerak tubuh Kei yang kini menyisakan jarak satu jengkal di antara mereka. Ia menengadahkan kepala supaya kedua netra mereka dapat bertemu dan memulai pertarungan tatap mata.

Tangan yang mengepal kuat, wajah yang merona merah, dan gerak napas yang cepat. Semua itu menunjukkan bahwa dia siap meledak sewaktu-waktu dan mengeluarkan serpihan kata-kata dari mulutnya.

"Aku mengotori tangan dan bajumu." Kei meraih tangan Dhara untuk menghapus percikan darah yang menodai kulit putihnya.

"Haruskah?" Suara Dhara terdengar bergetar menahan emosi.

"Mm ... apanya yang harus?" Kei lanjut menghapus bercak darah di jari-jari yang masih menolak untuk dibuka.

"Haruskah kamu membunuh mereka? Sebegitu tidak berharga nyawa mereka di matamu!" Dhara berteriak dan menekan kuat tangan kiri Kei yang masih mengeluarkan darah.

Segala cara kini ia lakukan untuk membuat pria dingin itu mengeluarkan emosi lain seperti sakit atau menangis, untuk membuktikan kalau dia juga seorang manusia.

"Di duniaku, kalau kamu tidak membunuh maka kamu yang akan dibunuh. Itu adalah prinsip yang membuatku hidup sampai saat ini. Jangan lupakan, mereka tadi juga berniat membunuhmu, bukan?" jelas Kei balik menatapnya tajam.

Cairan hangat yang semakin deras mengalir kini mulai memberi warna kepada sisi lain baju hangat Dhara. Walau ia menekan luka itu kuat-kuat, tetapi tidak sedikit pun pria itu mengeluarkan ekspresi kesakitan. Seakan-akan seluruh reseptor nyeri yang ada di tubuhnya sudah kehilangan fungsi.

"Lepaskan, Ara. Kamu hanya membuat tubuhmu semakin kotor dengan darah." Permintaan pria bermata gelap yang tidak Dhara gubris.

Kei menggelengkan kepala. Menyerah dengan sifat keras kepala perempuan cantik di depannya.

"Aku bilang, lepaskan! Kalau kamu mau menyakitiku, maka kamu melakukannya dengan cara yang salah," perintah Kei dengan nada sedikit tinggi. Namun, tetap tidak mendapat tanggapan dari sang pemilik tangan.

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang