Epilog

1.1K 103 18
                                    

Minggu pagi berkendara ke daerah terpencil, mereka bertiga sampai di sebuah area luas tanpa gedung bertingkat. Hanya ada lapangan rumput terbentang luas dengan pegunungan yang menjulang tinggi menembus awan.

Kala itu matahari bersinar terang dan membagi kehangatannya di tengah-tengah udara dingin pegunungan. Dhara keluar mobil dengan menarik ujung baju hangatnya dan mulai berjalan menyisir area berbatu. Berjalan ditemani Kei yang tidak berhenti menjaga langkahnya, mereka masuk menembus barisan pepohonan.

Berjalan ke dalam sejauh kurang lebih seratus meter membuat Dhara kelelahan. Melihat gerak napasnya yang semakin cepat, Kei berhenti melangkah dan mengajaknya berhenti.

"Kamu sedang tidak enak badan? Tidak biasanya kamu kelelahan hanya dengan jarak sedekat ini." Kei meletakkan punggung tangannya ke dahi Dhara dan memperhatikan wajahnya mulai merona merah dengan bulir-bulir keringat terbentuk di kening.

"Tidak apa-apa. Aku cuma kurang olah raga dan untuk itulah kita ke sini hari ini." Dhara tersenyum, berusaha meyakinkan Kei.

"Lagi pula sebentar lagi kita sampai, itu mereka berdua." Jari Dhara menunjuk ke arah Tama dan Arya yang tengah berdiri sambil melambaikan tangan ke arah mereka.

Ia balas melambai dan berjalan dengan langkah lebih cepat ke arah mereka. Melupakan lelah dan meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal melihat sang istri bagai anak kecil jika bertemu dengan kedua pria itu.

Andaikan aku boleh membunuh mereka berdua, maka aku bisa menguasai Dhara untukku sendiri, pikir Kei sambil berjalan lambat dengan mata berkilat-kilat.

Sean yang selama ini mengikuti mereka berdua dari belakang hanya bisa diam memandang keluarga kecil milik bosnya. Dia sempat berpikir bosnya akan terus melajang sampai tua, melihat dia tidak pernah serius dengan perempuan, sampai akhirnya dia bertemu dengan Dhara.

Sean menatap sang bos dari kejauhan. Merasakan aura dingin yang terpancar kuat membuat dia menarik sedikit ujung bibirnya. Tanpa perlu melihat ekspresi wajah, dia sudah tahu jika bosnya sedang cemburu dengan dua pria yang kini mengelilingi istrinya.

"Ara, kenapa kamu pagi-pagi sudah meminta ke sini? Di hari libur pula. Tidak tahu apa kamu sudah mengganggu jam tidurku bersama Tama." Arya mulai bicara melantur, membuat Tama memukul kepalanya dengan keras.

"Hei, itu sakit tahu." Arya meringis kesakitan sambil mengelus-elus kepalanya.

"Apa yang kamu bicarakan pagi-pagi begini, membuat orang berpikir yang tidak-tidak saja. Cepat siapkan arena tembaknya," perintah Tama yang membuat Arya segera berjalan menuju area yang dikelilingi oleh pagar kayu.

"Ara ... kamu sakit?" Setelah kepergian Arya, akhirnya Tama bisa memandang Dhara dengan lebih fokus.

Pria yang kini mengenakan sweater biru senada dengan celananya meletakkan tangan ke kening Dhara, merasakan kulit di bawahnya terasa sedikit hangat.

"Dia tidak apa-apa." Kei tiba-tiba muncul dari belakang dan menarik paksa tangan Tama.

"Baik ... Baik ...." Tama mundur satu langkah dan mengangkat kedua tangannya, menunjukkan kalau dia sudah tidak lagi menyentuh Dhara.

Tama sampai sekarang masih belum terbiasa, apalagi menerima kalau Dhara—adik kesayangannya—menikah dengan pria paling cemburuan yang pernah dia temui semasa hidupnya. Membuatnya kesal karena hampir setengah tahun ini Kei selalu mempersulit jika dia ingin menemui sang adik.

Karena itu Tama cukup senang ketika beberapa hari yang lalu, Dhara menghubunginya untuk menunjukkan area menembak yang dulu pernah mereka datangi untuk latihan.

Setelah semua persiapan selesai. Dhara berdiri sepuluh meter dari target, tangannya dengan mantap memegang senjata milik Kei dan mulai menembakkan beberapa peluru keluar dari selongsongnya.

Suara tembakan berulang-ulang terdengar mengisi kesunyian pagi, membuat burung-burung beterbangan keluar dari persembunyiannya di pepohonan, dan mengeluarkan kicauan yang terdengar seperti protes akan suara keras yang ditimbulkan.

Peluru menembus mata target dengan tepat sebanyak lima kali berturut-turut membuat Arya membuka mata lebar dan menggantung rahangnya, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Ini pertama kalinya Arya melihat kemampuan menembak Dhara, sedangkan Tama dan Kei yang sudah berkali-kali melihatnya, hanya bisa memasang wajah datar dan bertanya-tanya dalam hati mereka, apakah Dhara masih perlu yang namanya latihan menembak lagi?

"Coba kamu ulangi lagi, Ara. Apa alasan kamu ke sini pagi ini?" Arya membuka percakapan setelah beberapa menit diisi dengan suara letusan senjata.

"Latihan ... Aku harus bisa menjaga diriku sendiri mulai sekarang," jawab Dhara terlihat puas melihat hasil tembakannya.

"Apa? Ini kamu sebut latihan?? Ini namanya menyombongkan diri, bukan latihan." Arya masih terdengar tidak percaya dengan alasan yang diberikan.

"Kamu sudah ada Sean yang selalu menjagamu, kamu tidak perlu lagi menjaga dirimu sendiri. Aku tidak akan izinkan itu," timpal Kei.

"Aku tahu itu, ada Sean yang bertugas menjagaku, tetapi yang bisa menjaga janin di perutku hanya aku seorang. Karena itu aku butuh latihan lebih banyak lagi," jawab Dhara yang membuat ketiga pria itu terdiam.

"...."

"Apa!!" teriak mereka bertiga bersamaan.

"Sayang ... maksudmu?" Kei memutar tubuh Dhara membuat kedua mata mereka bertemu.

Dhara tersenyum lebar ke arah Kei. "Selamat Honey, kamu akan jadi seorang ayah. Aku sedang hamil delapan minggu."

Mendengar berita bahagia itu Kei tersenyum lebar, mencium bibir, dan memeluknya erat. Tidak memedulikan Tama dan lainnya yang kini tampak malu melihat adegan mesra antar mereka berdua.

"Kita akan jadi paman!!" teriak Arya gembira sambil melingkarkan lengan kirinya ke bahu Tama yang tampak terharu dengan air mata menetes keluar.

"Ara, I love you so much."

"Love you too, Kei."

- THE END -

Hai, terima kasih semuanya sudah membaca dari awal cerita sampai akhir. Aku akhiri ceritaku di sini, semoga semua puas dan tidak merasa aku gantung ya.

Salam,
Meda ^^

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang