Bab 1 : Kepanikan di UGD

2.4K 160 35
                                    

"Tolong!!"

"Sakiit! Dokter, tolong!" jerit kesakitan pasien bertalu-talu terdengar. Aroma anyir darah tercium samar memenuhi ruangan yang kini sesak dengan pasien.

"Dokter, kakiku! Aku tidak merasakan kakiku!" Seakan tidak mau kalah, seorang pria paruh baya menjerit meminta pertolongan dari salah satu bilik sambil memegangi kakinya yang terlihat bengkok dengan bentuk tidak wajar.

"Mama!" Kali ini seorang anak perempuan dengan pecahan kaca menancap sebagian di lengan kanan, menangis di gendongan sang mama yang terlihat panik mencari pertolongan sang dokter di tengah gelombang pasien yang kondisinya tidak jauh berbeda.

Pagi ini sebelum mentari bergerak tinggi, suasana UGD RS Kirana berubah riuh. Ruangan yang biasanya lenggang, kini didatangi oleh rentetan ambulans yang secara bergantian membawa pasien korban kecelakaan.

Pasien—baik yang dewasa maupun anak-anak—berlomba-lomba mengeraskan suara untuk mencari perhatian sang dokter yang hanya berjumlah dua orang.

"Dokter, anak saya kakinya berdarah. Tolong dia dulu!" Seorang ibu yang berpakaian lusuh dengan debu dan darah menarik tangan seorang dokter perempuan yang tengah memeriksa seorang pria yang meronta-ronta dengan darah mengalir deras dari lubang hidung dan telinganya.

"Ibu, tunggu sebentar. Setelah ini saya ke sana. Pria ini lebih membutuhkan pertolongan saya terlebih dahulu." Sang dokter kembali menarik tangannya dan lanjut menyorot mata pasien dengan senter kecil.

"Lakukan CT scan kepala pada pasien ini!" teriaknya memberi perintah kepada salah satu perawat yang tengah membersihkan luka pasien di bilik sebelah.

"Dokter Maya, pasien di bed lima kejang!" lapor brudder bertubuh jangkung.

"Beri diazepam iv bolus lambat dulu. Jangan lupa oksigen nasal canul tiga lpm. Setelah ini aku ke sana," balasnya cepat.

"Di mana Dokter Rama?" tanyanya sambil melepas sarung tangan penuh darah dari pasien sebelumnya.

"Dokter Rama sedang menangani pasien syok hemoragik di bed satu, Dok," jelasnya sambil bergerak ke lemari obat.

Mata Maya menyisir ruang UGD dan melihat gelombang pasien yang terus berdatangan. Bahkan sebagian dari mereka tidak lagi mendapat tempat tidur dan mau tidak mau didudukkan di kursi yang tersedia.

Pasien sebanyak ini tidak bisa diselesaikan dengan baik kalau hanya berdua dengan Rama.

"Kita butuh bantuan! Minta dokter yang tidak sedang sibuk untuk datang kemari!" teriak Maya kepada siapa pun yang bisa membantunya mencari dokter tambahan.
.
.

"Pak! Jangan ditarik terus tangannya. Ini saya mau suntik obat bius dulu biar nanti Bapak tidak kesakitan waktu saya jahit lukanya." Emosi Dhara—salah satu dokter bantuan—tidak lagi terbendung saat melihat pria bertubuh besar itu berkali-kali menarik tangannya dan meraung kesakitan ketika ujung jarum baru menyentuh kulit.

"Ta-tapi, Dok." Pria itu tidak berhenti meringis melihat jarum suntik yang panjangnya tidak sampai lima sentimeter.

"Ya sudah, kalau Bapak belum siap dijahit lukanya. Saya mau ke pasien lainnya," ketus perempuan ayu berambut ikal sambil merapikan peralatan hecting-nya.

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang