Bab 17 : Memori masa lalu

489 72 1
                                    

Dingin. Seharian ini di tempat kerja hanya ada sensasi dingin yang menarik kehangatan tubuh Dhara. Entah karena faktor cuaca yang memang sudah beberapa bulan ini memasuki musim penghujan atau imunitas yang mulai turun dan memberi beberapa virus izin untuk berkembang biak di dalam tubuhnya. Apa pun itu penyebabnya ia tidak suka.

Tubuhnya sejak dulu tidak pernah suka dengan dinginnya alam maupun AC, karena hal itu membuatnya teringat akan peristiwa buruk semasa kecil. Seperti ketika dia harus berpindah dari satu panti asuhan ke panti lainnya yang terkadang dalam jeda waktu itu dia dan sang kakak harus merasakan dinginnya malam tanpa atap dan selimut.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore di Kafe Masa Lalu. Kedua telinga Dhara tertutup earphone yang hanya memainkan musik klasik sementara matanya menatap layar dengan jari menari-nari di atas keyboard laptop.

Seperti biasa, ia mengambil meja di dekat jendela besar dan merasakan kehangatan mentari sore menyelimutinya. Kali ini rambut dibiarkan tergerai dengan poni menutup sebagian wajah tanpa mengganggu pandangan mata ke layar.

Di sampingnya, Kei sudah duduk—entah berapa lama—tanpa Dhara sadari atau dia yang berpura-pura tidak tahu karena tidak ingin ada yang mengganggu selama dia mengaktifkan kepribadian introvertnya.

Kei menyeruput kopi sambil memperhatikan perempuan yang mengenakan oversized sweater berwarna cokelat sibuk mengetik. Sampai akhirnya jari Dhara lebih banyak berhenti daripada bergerak. Sekalinya mengetik hanya untuk menekan backspace berulang-ulang kali sampai akhirnya berhenti total.

Kei tersenyum, tangannya menyibak rambut Dhara ke belakang telinga dan memandang wajah manis yang tak lagi lelah.

Merasakan sensasi asing membelai pipi, ia menyentak ke belakang dan menjauhi tangan yang yang kini berhenti di udara.

"Kei? Di sini dari jam berapa?" tanya Dhara sambil melepas earphone saat melihat Kei sudah duduk di samping dengan secangkir kopi di meja yang tidak lagi dalam keadaan penuh.

"Tidak lama ...." Ibu jarinya mengelus wajah Dhara, tetapi ia kembali menghindar.

"Masih belum terbiasa dengan sentuhan orang?" Kei melepas sentuhannya dari wajah dan beralih ke rambut ikal yang meliuk-liuk di jari. Ia perhatikan perempuan bermata bulat itu lebih senang dibelai rambutnya daripada disentuh kulitnya.

Dhara menggeleng, "Kalau terbiasa nanti refleks akan menjadi tumpul."

Dhara menutup laptop. Matanya kembali fokus ke jendela besar kafe. Sementara lidah menikmati manis cokelat yang turun membasahi kerongkongannya yang kering.

"Siapa yang mengajarimu semua kemampuan bertahan diri itu? Hanya orang yang memiliki kemampuan bela diri hebat yang bisa melakukan itu." Kei menurunkan tangan ke bahu Dhara, menekan titik tertentu yang membuatnya relaks. Kali ini dia tidak menghindar dan menikmati sentuhannya.

Dhara menoleh, mengabaikan tatapan orang dari luar kafe yang melihat ke arah kaca. Yang entah untuk melihat mereka berdua atau hanya sekedar berkaca untuk merapikan diri. "Kakak ...."

"Almarhum Kakak," tambahnya sambil menunduk menatap gelas yang masih mengeluarkan uap tipis di atasnya.

Jari Kei berhenti sesaat mendengar jawaban Dhara.

"Bukan Kak Tama, bodoh." Dhara tersenyum simpul, seakan-akan bisa membaca arah pikiran Kei.

"Aahh, baru saja aku berpikir untuk mengadakan perayaan." Kei tersenyum dan mengembalikan tangan ke gelas kopinya.

"Hei, jangan begitu. Bagaimanapun dia orang yang sangat berjasa untukku. Kalau tidak ada dia, aku mungkin tidak akan menjadi orang seperti sekarang."

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang