Bab 12 : Kembalinya musuh lama

594 82 0
                                    

"Selamat pagi, Tuan Kei," sapa setiap karyawan ketika Kei melintas lobi kantor, di mana ia bekerja sebagai CEO di perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor.

Melangkah dengan tatapan lurus ke depan, ia menghiraukan tegur sapa para karyawan yang sebagian besar perempuan. Dari awal dia tidak pernah menghabiskan waktu untuk beramahtamah dengan pegawainya. Terlebih saat ini pikirannya sedang kalut akibat pesan dari ayah angkat—Maro Ramon—yang meminta untuk bertemu sebelum rapat dewan direksi di mulai pagi ini.

Aku belum selesai dengan para pembunuh bayaran dan sekarang ini! Semoga Ayah tidak meminta sesuatu yang membahayakan. Aku rasa sudah cukup seminggu tiga kali aku mendapat ancaman pembunuhan.

Masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan, Kei berdiri di pojok dengan kedua mata tertutup dan tangan terlipat di depan dada. Sementara itu sang pengawal menekan tombol lift yang kemudian membawa mereka naik ke lantai tiga puluh.

Suara ding terdengar diikuti pintu terbuka. Keluar lift, Kei langsung disambut oleh sang sekretaris—Reika—yang mengenakan kemeja putih dengan kancing terbuka sampai pertengahan dada dan rok ekstra mini yang memamerkan paha putih bersih miliknya.

Berbicara dengan sensual, bibir merahnya terus bergerak untuk melaporkan jadwal hari ini kepada sang bos.

Melangkah beriringan, mereka bertiga melewati meja sekretaris menuju ruang kerja yang berada di sampingnya, perempuan itu terus berusaha untuk meniadakan jarak antara tubuh mereka. Namun, Kei tetap bergeming dan tidak memberi perhatian yang Reika inginkan.

"Tuan Kei," panggil sekretaris yang masih tidak mendapat respons dari si pemilik nama.

"Tuan Ramon dan Tuan Ray sudah menunggu di dalam." Info terakhir yang terucap membuat Kei berhenti tepat di depan pintu ruangannya.

Ia memutar tubuh dan memberi Reika tatapan 'kenapa baru kamu kasih tahu sekarang'. Walau dia menatap marah, tetapi sang sekretaris terus memberinya senyum menggoda sebelum akhirnya dia kembali ke meja.

"Ingatkan aku untuk memecatnya," geram Kei.

"Tidak bisa, Tuan. Dia titipan Tuan Ramon." Sean mengingatkan untuk kesekian kalinya.

"Tsk ...." Kei berdecak—memperlihatkan ketidaksukaannya.

Tanpa menunda lagi, ia—diikuti oleh Sean—masuk ke dalam ruang kerja yang luas, tetapi minim perabot. Hanya ada meja kerja dengan kursi kulit yang terlihat sangat nyaman dan rangkaian sofa besar yang menyita sebagian ruangan.

Ayahnya mengambil kursi kebesaran milik Kei yang duduk ditemani pancaran hangat sinar matahari pagi yang menyeruak masuk melalui jendela besar di belakang. Sementara itu, kakak angkatnya—Ray Ramon—berdiri tegap di sisi kiri dengan kedua tangan bersembunyi di belakang punggung.

"Selamat pagi, Ayah." Kei membungkuk memberi hormat.

Ia menatap hormat sang ayah yang kini sudah berusia berusia enam puluh tahun dengan garis rahang yang tegas dan mata yang tidak berhenti menatap tajam. Melihat tubuh tegap dan otot yang menonjol membuat angka enam puluh seakan hanya hiasan semata.

"Selamat pagi, Senior Ray." Kei beralih ke pria tinggi berkulit gelap dengan rambut hitam legam yang memanjang sampai ke bahu.

"Pagi, Kei," balas Ray yang berusia dua tahun lebih tua darinya.

"Kei, lama tidak bertemu." Ramon bangkit dari kursi dan berjalan menghampirinya.

"Maaf, lama saya tidak menyempatkan diri untuk berkunjung. Semoga Ayah sehat selalu."

"Aku tahu kamu sibuk, tidak perlu meminta maaf. Namun, ada baiknya sebulan sekali kamu berkunjung ke rumah dan menyempatkan diri untuk menemui orang tua ini," ucapnya sambil terkekeh.

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang