Bab 5 : Kantor polisi

742 127 7
                                    

Setelah mendapat perawatan luka seadanya, mereka berdua digiring ke kantor polisi ketika mentari masih bersembunyi di cakrawala.

Duduk di ruang terpisah, Dhara menekuk wajah dan melipat kedua tangan di depan dada saat mendengar salah satu polisi berperawakan besar terus menerornya dengan satu pertanyaan yang selalu diulang-ulang. Entah sudah berapa lama ia menghabiskan waktu duduk di kotak tertutup bagai kriminal.

"Jangan berbohong! Pasti bukan kamu yang menembak pria itu. Kenapa kamu melindungi seseorang seperti Kei Marva!" teriaknya penuh amarah.

Merasa sudah menjawab pertanyaan itu selama lima kali. Dhara kini memilih diam dan tidak berhenti menatap polisi yang di seragamnya terbordir tulisan Mario.

Sementara itu, polisi lain yang berperawakan kecil hanya diam berdiri di pojok ruangan sambil memperhatikan rekannya menginterogasi perempuan yang sudah terlihat lelah.

"Jawab!" teriak Mario.

"Pak! Mau seratus kali Anda bertanya. Jawabanku akan tetap sama. Bukan Kei yang menembaknya, tetapi aku! Kalian lihat sendiri, bukan? Kalau aku yang terakhir memegang senjata." Dhara mengelus-elus luka di lengan kiri yang mulai berdenyut nyeri.

Mau sampai jam berapa aku di sini? Efek obat nyerinya sudah mau habis, jika tidak segera minum obat tidak lama lenganku akan kembali sakit.

Apa aku gunakan nama Kak Tama saja ya?

"Kalau mendengar dari pernyataanmu barusan. Kemungkinan kamu menembak musuh dengan tepat hanyalah satu persen. Kamu tahu itu!" Polisi itu kembali memberi argumennya.

"Berarti semalam itu keberuntungan satu persen saya, Pak." Dhara menjawab malas.

"Apa?? Keberuntungan? Kamu tahu siapa yang kamu lindungi?"

"Dia adalah salah satu tangan kanan mafia yang paling berbahaya di kota ini." Mario mulai terlihat tidak sabar."Kamu tahu, 'kan, ada hukuman untuk orang yang membantu atau menutupi perbuatan jahat seseorang."

"Saya tidak peduli Bapak percaya atau tidak. Saya di sini hanya untuk memberi keterangan atas apa yang terjadi semalam. Apa yang saya katakan dari awal sampai akhir semuanya jujur, tidak ada satu pun yang saya tutupi." Rasa kesal terlihat jelas di wajah Dhara.

"Dan maaf, saya tidak bisa membantu kalian dengan memberi keterangan palsu supaya kalian mempunyai alasan untuk memenjarakannya," lanjutnya.

"Buktikan!" ucap polisi lain yang kini bergerak mendekat ke meja.

"Buktikan apa? Buktikan kalau saya, seorang perempuan biasa yang bekerja di bidang medis bisa membidik senjata dengan tepat?" Dhara berkata penuh percaya diri. Berusaha untuk mengintimidasi mereka.

Mendengar kesombongan Dhara, kedua polisi itu bertukar pandang satu sama lain dengan senyum seringai yang muncul tak lama setelahnya.

Polisi itu kemudian keluar dari ruang interogasi dan tak lama masuk dengan senjata diletakkan di depan Dhara.

"Ini adalah senjata berisi peluru karet. Berdiri di pojok sana." Polisi berlabel Chris di seragamnya menunjuk ke pojok ruangan berseberangan dengan tempatnya berdiri. "Lalu tembak aku tepat di kedua bahu. Buktikan kalau kamu tidak berbohong."

Merasa ini adalah pembuktian terakhir yang bisa ia berikan. Dhara bangkit dari duduknya dengan penuh semangat. Kemudian dia berjalan ke pojok ruangan yang ditunjuk dan mengarahkan senjatanya ke Chris yang berdiri lebih jauh di seberangnya.

Ia menutup mata sesaat dan menghirup napas dalam-dalam. Walau nyeri mulai menjalar ke seluruh lengan kirinya, tetapi ia berhasil mengangkat lurus kedua lengannya ke depan dan mulai memusatkan perhatiannya ke target.

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang