Bab 10 : SOS

647 92 0
                                        

'SOS' Dhara menulis tiga kata itu di telapak tangan Kei yang kemudian membagi senyum sinisnya.

Perhatian Kei kini beralih untuk mencari tahu bagaimana Dhara bisa mendeteksi adanya ancaman hanya dalam waktu kurang dari lima belas menit. Ia mempelajari sekitarnya. Tiga pasangan yang sedang bermesraan—bahkan salah satunya berciuman tanpa malu-malu—dan sekumpulan empat pria di satu meja.

Dari keempat orang itu ada satu orang yang mengenakan earphone di salah satu telinga yang ujungnya terhubung dengan ponsel. Sesekali pria itu mengetik kemudian menyambung pembicaraan temannya dan ikut tertawa ketika mereka tertawa.  Sedikit aneh, tetapi tidak mencurigakan sama sekali.

Hal lain yang Kei perhatikan adalah ponsel masing-masing orang tergeletak di meja. Bukan hal yang ganjil sebenarnya, hanya saja pasangan yang sedang berkencan cenderung untuk mematikan ponsel atau paling tidak menyimpannya supaya tidak mengganggu ketika mereka sedang bermesraan.

Lalu, setiap kali pria yang mengenakan earphone mengetik, tak lama rangkaian pesan masuk ke masing-masing ponsel secara acak dan tidak dalam waktu yang bersamaan.

Pesan yang masuk tidak semuanya memiliki nada dan sebagian besar dalam kondisi bergetar. Sebenarnya semua masih mungkin hanya kebetulan, tetapi dia memilih untuk mempercayai insting perempuan di sampingnya.

Aku tidak mengerti. Apa sebenarnya yang membuat Ara curiga?

"Aku percaya. Kamu tidak perlu sampai memanggil orangnya langsung hanya untuk mengkonfirmasi." Kei menekankan kata-kata 'percaya' yang kemudian dibalas anggukan oleh Dhara.

"Baiklah kita lupakan dia. Aku rasa sangat tidak pantas membicarakan pria lain ketika ada aku di sampingmu." Kei mengelus tangan Dhara yang tampak mungil.

Merasakan hangat genggaman tangan Kei beserta belaiannya. Perlahan rasa cemas Dhara menguap, menyisakan jantungnya yang masih berdebar kencang akibat sentuhan fisik dengannya.

"Iya, lupakan ... terima kasih sudah percaya." Dhara menunduk, tidak ingin Kei melihat wajahnya merona merah.

"Tanganmu dingin." Kei kemudian menyentuh pipi dan leher Dhara.

Sentuhan lembut itu membuat ia tersentak. Matanya menatap tajam ke arah Kei, memberinya peringatan untuk tidak macam-macam.

"Aku akan minta Sean untuk mengambil mantelmu di mobil." Kei memanggil pengawal yang masih berdiri tegap di pintu.

"Ambilkan mantel putih Nona Ara yang berada di jok belakang mobil." Walau mereka bertiga tahu tidak ada mantel itu, tetapi sang pengawal tetap mengangguk. Dan tanpa banyak bicara, Sean segera mengerjakan perintah dari bosnya dan pergi meninggalkan mereka berdua.

Warna putih? Apa Kei juga menggunakan istilah tanda bahaya di rumah sakit?

"Tidak perlu repot-repot. Aku bisa mengambilnya sendiri." Dhara tidak mengerti kenapa dia menyingkirkan satu-satunya orang yang dapat membantu mereka.

"Dia cukup. Kamu di sini saja," tolak Kei.

"Maaf, sepertinya aku salah mengajakmu kemari ketika kamu sedang tidak enak badan." Kei kembali memainkan tangannya di rambut Dhara, merasakan kelembutan di setiap helainya. Kali ini Dhara hanya diam, selama dia tidak menyentuh kulitnya maka dia aman.

"Tidak perlu minta maaf." Dhara menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua kode-kode ini. Dia hanya ingin segera keluar dari sini dan kembali ke kamarnya.

"Aku cuma mau pulang," ucapnya memelas sambil memainkan peralatan makan yang ada di meja, terutama pisau makannya.

"Bagaimana kalau kita pindah ke dalam? Sayang bukan makanan yang sudah kita pesan, terlebih semuanya kesukaanmu." Kei masih bermain drama.

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang