Bab 20 : Suara yang menghilang

486 68 2
                                    

Malam itu di lantai tiga puluh. Rintik air tidak berhenti menerpa jendela besar di kantor Kei. Kilatan cahaya yang menembus kegelapan malam sesekali terlihat diikuti oleh suara gemuruh petir yang memekakkan telinga.

Kei memandang ke bawah dengan ekspresi dingin miliknya. Melihat lampu berwarna merah dan putih yang bergerak mengisi jalanan, berikut dengan ratusan payung di tepian. Kota jelas terlihat lebih menarik untuk dilihat dari atas di kala hujan.

Suara ketukan di pintu mengalihkan pandangannya. Tanpa menunggu jawaban dari sang pemilik ruangan, tamu tak diundang itu masuk dan mendekat ke tempat di mana pria tegap itu berdiri dengan rokok terselip di jari.

"Tuan."

"Ada apa?"

"Max menghilang," lapor Sean singkat.

Kei memutar untuk menatap pengawal kepercayaannya dan mengangkat salah satu alis. Jantung seakan berhenti berdetak beberapa detik saat telinganya mendengar berita tidak menyenangkan itu.

"Kapan?" Pria itu kini terlihat gusar. Karena Max adalah orang yang ia tugaskan untuk mengikuti dan menjaga Dhara. Berkat informasinya, ia mendapat berita mengenai sang dokter setiap hari.

"Mulai semalam kami tidak bisa menghubunginya. Kami sudah mencoba menelusuri GPS-nya, tetapi tidak menemukan apa-apa," lanjutnya.

"Ara ... bagaimana dengan dia?" Kei berdiri, kedua matanya tajam menatap Sean, mengintimidasi untuk memberinya berita baik.

"Nona Ara sampai saat ini belum ada yang melihat. Tapi menurut laporan dari rumah sakit, Nona Ara mengajukan cuti sakit selama tiga hari."

Kei mengambil ponsel yang berada di saku jas dan menekan nomer Dhara. "Nomer yang anda tuju—"

Kei segera mematikan ponsel, tidak perlu lagi melanjutkan nada sambung itu. Ia kembali memunggungi Sean dan mengepal kuat tangannya.

"Kamu cari Ara. Pastikan dia baik-baik saja dan segera beri kabar jika melihatnya." Sean tidak segera merespons perintah dari bosnya. Sekali lagi hanya untuk perempuan itu ia mengerahkan anak buah kepercayaannya.

"Ada yang lain?" Kei merespons keheningan yang muncul di antara mereka berdua.

"Tuan, mengingat banyaknya ancaman ter—" Sean berhenti berbicara, saat bosnya memutar tubuh dan menatap tajam ke arahnya.

"Baik, Tuan." Sean akhirnya tunduk akan perintah atasan dan meninggalkan sang bos kembali dengan kesendiriannya.

Sepeninggalan Sean, Kei berdiri diam memandang kelamnya malam. Ia tidak berhenti berpikir, siapa yang sedang bermain api dengannya beberapa bulan ini.

"Sial!"

"Seharusnya aku mengurungmu dari dulu, Ara." Tangannya meremas rokok yang tersisa. Berusaha mencari sumber nyeri lain untuk menghilangkan rasa tidak nyaman di hatinya.

###

"Ara, bagaimana tenggorokanmu hari ini?" tanya Tama saat melihat Dhara keluar masih dengan piama tidur, syal melilit leher, dan rambut terurai berantakan. Ia terlihat jelas baru bangun tidur.

Sementara Tama sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan sederhana dan Arya membaca laporan—yang nantinya akan dilaporkan via verbal kepada Tama—di meja makan.

"Sudah lumayan, Kak," balas Dhara masih dengan suara serak.

Mendekat ke arah dapur. Tak hanya aroma pancake yang tercium, tetapi juga aroma kopi yang membuka lebar kedua mata Dhara.

"Ara, kemari." Arya berbaik hati mendorong kursi di sampingnya keluar dari meja.

Mengambil duduk di tempat yang ditawarkan, Dhara segera meletakkan kepala ke meja dengan untaian jari sebagai alasnya. Ini adalah hari kedua semenjak kejadian di gang dan lama hari di mana lelap menjadi sesuatu yang berharga untuknya.

Kupu-Kupu Patah SayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang