Entri - 2

23.5K 3.2K 50
                                    

List 2 : Aku harus bisa memahami diriku sendiri.
*****

Vega tidak bisa menahan rasa kesalnya begitu manusia bernama Altair itu meninggalkannya tanpa penjelasan. Vega yakin, bukunya ada bersama laki-laki itu. Terbukti dengan kata-katanya yang cukup mirip dengan apa yang dia tuliskan disana. Maka, tanpa membuang banyak waktu, dia berlari menyusul langkah cepat laki-laki itu.

"Tunggu!"

Beruntungnya, lorong cukup sepi, dia tak perlu khawatir untuk menjadi bahan gosip seantero Airlangga Hospital. Masih banyak orang yang belum mengenali dokter baru yang menyebalkan itu. Sebab, dia belum mengenakan snelli-nya hari ini.

"Berhenti! Kamu hutang penjelasan sama saya!"

Napas Vega mulai terengah. Tiga hari bedrest sebenarnya adalah waktu yang sangat singkat untuk seseorang sepertinya. Meski hanya duduk dan berbicara dengan pasien, itu sudah membuatnya letih. Padahal hari ini bukan jadwalnya meracik atau mengambil yang membutuhkan tenaga lebih untuk lari sana-sini. Apa memang kondisi tubuhnya masih jauh dari standar normal, ya?

Laki-laki itu menghentikan langkah tanpa menoleh.

"Bagaimana mungkin kamu tahu, jika saya paling benci dianggap lemah, padahal nggak sekalipun kamu mengenal saya? Kamu pasti membaca buku itu, kan?"

Vega berada tepat dibelakang laki-laki itu, hingga tak berapa lama kemudian, dokter baru yang menyebalkan itu menoleh dibalik bahu.

"Matthew Altair Keandra. Nggak usah pakai gelar, ya. Terlalu ribet untuk sekedar diungkapkan."

Sombongnya...

Vega ingin mengumpat saat itu juga, tetapi masih sadar diri, emosinya bisa berpengaruh pada detak jantungnya. Dia mengamati tangan Altair yang menggantung di udara.

"Kata kamu, kita belum kenal, kan? Maka dari itu, saya berbaik hati mengenalkan diri sama kamu. Dan kamu adalah salah satu perempuan paling beruntung di Airlangga Hospital, karena sebelum saya resmi jadi dokter disini, kamu sudah kenal saya."

Astaga, laki-laki ini sedang melawak atau menyombongkan diri? Padahal setahu Vega, selama dia bekerja di Airlangga Hospital, tak ada dokter yang senarsis dan sesombong laki-laki dihadapannya ini. Dokter Erlangga sekalipun, Ayah dari manusia dihadapannya sekarang.

Ngomong-ngomong tentang Dokter Erlangga, Vega merasa Ayah dan anak itu sangat berbeda seperti langit dan bumi, baik dari tutur kata, tingkah laku, atau bahkan fisiknya. Bagi Vega, dokter Erlangga adalah penyambung hidupnya. Seseorang yang dikirim Vega untuk menyelamatkannya berulangkali.

"Kamu sengaja membiarkan tangan saya menggantung di udara selama ini?"

Lihat, mulutnya saja seperti petasan. Tipikal laki-laki yang suka mengomel seperti Ibu-ibu komplek.

"Saya nggak berminat kenal dengan kamu."

Altair menaikan alis. "Oh ya? Lantas kenapa kamu kejar-kejar saya sampai disini?"

Vega memutar bola mata bosan. "Saya cuma ingin dengar penjelasan kamu! Kita nggak saling kenal, jadi nggak seharusnya kamu bilang seperti itu ke saya, kecuali kamu baca  buku saya! Dasar pencuri! Nggak sopan!"

BPJS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang