List 7 : Aku ingin...
Menjadi diriku sendiri.
*****
Vega tidak tahu, kenapa dia bisa menunjukkan kelemahannya di hadapan Altair, selama ini dia selalu menyimpan semuanya sendiri, mencari pengalihan terbaik, kemudian lupa, bahwa Ayahnya tak pernah peduli. Vega tahu dia mungkin memang sudah gila, di tengah kekalutannya malah memeluk Altair dengan sengaja dan menumpahkan tangisnya disana. Tetapi, meskipun malu, Vega tidak menyesal. Seumur hidup dia tak pernah memiliki kakak laki-laki, bahkan sepupunya sekalipun, jadi ketika Altair memeluknya dan memberi banyak ketenangan, Vega jadi merasakan, mungkin seperti itulah rasanya jika mempunyai kakak laki-laki.Vega tahu, tak seharusnya dia menilai seseorang hanya karena penampilan dan kesehariannya. Terbukti, mengenal Altair lebih jauh, Vega jadi banyak memahami, bahwa Altair tidak seburuk yang dia kira sebelumnya. Mungkin laki-laki itu juga berbaik hati padanya, karena melihat cerminan adik perempuannya pada diri Vega. Melihat interaksi kecil antara Altair dengan adiknya beberapa waktu yang lalu, Vega juga tahu, bahwa Altair memang menyayangi adiknya. Maka, laki-laki itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Vega menghela napas begitu memasuki Ruang Farmasi Rawat Jalan. Gadis itu berusaha mengulas senyum tipis, sembari membawa berkas-berkasnya yang dia gunakan untuk periksa. Hari ini dia sudah berjanji pada Altair untuk memeriksakan dirinya, agar Altair sendiri paham, bagaimana kondisi jantung Vega setelah hampir satu bulan, dia mangkir kontrol.
"Loh Vega! Siapa yang mau periksa? Nggak mungkin bokap lo, kan? Secara bokap lo, kan konglomerat."
Vega tahu, yang paling ribut di divisinya adalah Clara. Gadis itu selalu berbicara tanpa berpikir, jadi Vega sudah bisa maklum, meski dia tak ingin Ayahnya masuk dalam topik percakapannya hari ini.
"Gue yang periksa." sahutnya dingin.
Clara bertepuk tangan. Reaksi gadis itu memang terlalu ajaib. Sehingga, kadang Vega bertanya pada diri sendiri, kapan dia bisa secuek Clara dalam menjalani hidup? Ah, sepertinya memang dia harus menikmati hidupnya seperti yang Altair katakan. Mungkin, dengan begitu segalanya akan terasa lebih ringan.
"Eh, tapi... kenapa pakai BPJS? Bukannya Om Ardan sanggup beli spirolacton sepabriknya ya?"
"Gue nggak mau ngrepotin, karena dia bisa beli brand spironolakton sepabriknya, sudah jelas, dia terlalu sibuk untuk sekedar ngurusin gue."
Clara terlihat salah tingkah, sepertinya dia tahu bahwa membawa Ardan dalam topik bicara mereka akan menjadi sangat sensitif. "Ah,kalau gitu nanti gue antar kontrolnya gimana? Atau lo mau sendirian aja? Ke dokter Erlangga lagi, emang?"
Vega mencoba tersenyum, menata hatinya yang terlanjur campur aduk karena Clara memasukkan Ayahnya pada topik obrolan mereka.
"Boleh aja kalau resepnya nggak ramai. Btw, hari ini sama dokter Altair, sih. Dokter Erlangga mau pensiun jadi dokterku karena katanya gue bukan anak-anak lagi."
Netra Clara membelalak tidak percaya, "Sumpah?"
Vega menjawabnya dengan anggukan jahil. Mengerti sobatnya itu fans garis kerasnya Altair Keandra.
Clara menggeleng cepat. "Nggak-nggak, gue nggak bisa nganter, baru masuk polinya yang ada gue jantungan. Ish, nggak kebayang sih, dokter Altair, snelli, sama kacamata hitam pembingkai wajah, pasti seksi banget!"
Vega tergelak, "Seksi dari mana? Nggak kayak Oppa-oppa kamu begitu."
Clara tertawa kecil, "Halah body shaming! Justru kalau badan dia jadi kayak Oppa gue, seluruh perempuan di Airlangga Hospital bisa tunduk dalam ketampanannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BPJS (TERBIT)
ChickLitTidak boleh terlalu lelah, tidak boleh melakukan olahraga berat, tidak boleh terkejut, dan masih banyak 'tidak boleh' lain, yang harus dipatuhi Amoreiza Vega Pradigta, gadis berumur 23 tahun yang dari lahir mengidap Penyakit Jantung Bawaan. Seumur h...