Playlist : Utada Hikaru - First Love.
******
Altair diam-diam memandang Vega yang mendadak murung. Gadis itu masih bermain kertas lipat dengan Ane, adiknya. Tetapi, binar matanya tak secerah tadi. Altair mendadak menjadi tidak enak. Apa memang perkataannya menyinggung gadis itu? Padahal, itu hanya kata spontan yang keluar dalam pikiran Altair.
Dia lupa pernah mengenal Vega sebelum ini. Dan mereka ditemukan lagi sebagai partner kerja dan tetangga. Mana mungkin Altair bisa menyebut gadis itu sebagai adik? Mungkin hal itu akan berbeda jika Vega dikenalkan sebagai adik baru oleh Ayahnya, dan mereka tinggal dalam satu rumah yang sama. Tetapi, membayangkan begitu saja, entah kenapa hatinya tak sampai.
Altair sekarang masih terduduk di kamarnya. Sembari membuka berkas berisi salinan status pasien milik Vega dan Satrio. Dua pasien yang entah kenapa Altair perjuangkan habis-habisan. Kasus mereka hampir sama, namun dilihat dari keseluruhan pemeriksaan, kondisi Satrio memang jauh lebih baik. Persentasi kesembuhan anak laki-laki itu lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi Vega yang sampai sekarang membuatnya ragu untuk melakukan tindakan macam apa.
Mengingat profesi dan panggilan sosialnya, Altair jadi mengingat beberapa pasien lain yang juga mempercayakan diri padanya. Jika dihitung, jumlahnya mungkin belum sampai 30 orang, tetapi bagi Altair, itu jauh lebih dari cukup, karena baginya, percuma saja banyak pasien, tetapi dia tidak maksimal dalam melakukan pekerjaannya. Kinerjanya sedang dinilai dalam masa-masa sekarang ini. Pasien awam hanya akan melihatnya sebagai dokter baru yang minim pengalaman. Jadi, berapapun jumlah pasiennya sekarang, dia akan merawat mereka sebaik mungkin.
Menutup kembali berkasnya. Altair bangkit dan meninggalkan kamarnya begitu mendengarkan suara berisik dari ruang santai. Dia bisa mendengar kecerewetan Ane dan ibunya yang sudah mendarah daging.
"Pelakornya buang ke laut aja tuh! Bodoh banget suaminya!"
"Aktingnya bagus ya Bund, bikin kesel."
Altair menggeleng tak habis pikir dengan reaksi Ane dan Ibunya yang bahkan terus berkomentar sepanjang layar yang mereka tatap menamipilkan gambar. Sedangkan Vega yang ada disamping mereka hanya terdiam. Mungkin baru sekali menonton sinetron yang kebetulandi tonton keluarganya.
"Amit-amit, jangan sampai kamu sama Ayahmu gitu ya, Mas. Awas aja, Bunda potong kalian nanti!"
"Nggak usah ditonton lah, yang bikin marah-marah gini, kayak nggak ada sinetron lain aja."
Ane melemparnya dengan setoples keripik. "Ini drama Mas! Bukan sinetron!"
"Ya apalah itu namanya. Nih, lihat Vega bingung tuh kayaknya. Ganti upin-ipin atau Kyuranger gitu lah, yang Mas ngerti."
"Ya itulah yang ngerti cuma Mas Altair aja! Wong Mbak Vega aja ngerti kok! Iya kan, Mbak?"
Vega yang ada disampingnya mengangguk. "Aku lihat kok, cuma gak terlalu detail. Nanti kalau ikut emosi, dokter Altair bisa repot."
Altair menepuk belakang kepalanya, merasa tidak enak dengan jawaban Vega. "Eh? Bukannya waktu itu saya bilang kalau kamu boleh lakukan apa yang kamu mau ya?"
"Tapi tetap dalam kontrol, kan?"
"Iya sih. But, kalau itu buat kamu bahagia, lakukan saja. Nggak usah dibatasi."
Vega hanya mengangguk singkat, lantas mengembalikan pandangannya pada layar yang ada dihadapannya.
"Perut Mas Altair ganggu banget sih!"
Altair menahan napas, padahal dia hanya mengambil kaleng soda yang ada di depan Ane. Ketika dia duduk, dia menatap perutnya sendiri.
"Emang buncit banget ya?" gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BPJS (TERBIT)
ChickLitTidak boleh terlalu lelah, tidak boleh melakukan olahraga berat, tidak boleh terkejut, dan masih banyak 'tidak boleh' lain, yang harus dipatuhi Amoreiza Vega Pradigta, gadis berumur 23 tahun yang dari lahir mengidap Penyakit Jantung Bawaan. Seumur h...