Entri - 9

15.2K 2.6K 83
                                    

List 9 : Bagaimana rasanya memiliki keluarga?

******

Vega sedari tadi tidak bisa menahan senyumnya begitu Ara, isteri dokter Erlangga bercerita banyak hal padanya. Bahkan ketika Vega membantu wanita paruh baya itu memasak. Tiba-tiba, ada sebersit tanya dalam benaknya, mungkin jika ibunya masih ada, akan seperti ini rasanya. Mengingat itu hanya membuat Vega murung dalam sekejap.

"Vega suka kpop gitu nggak? Dulu Bunda waktu masih seusia kamu edan banget. Bahkan Bunda masih awet jadi fangirl sampai ngandung Ane, lho."

Sambil memotong daun bawang, Vega menjawab, "Sekedar tahu sih, Bun. Kalaupun nanti Vega jadi tergila-gila nggak bakal boleh nonton konser juga buat apa? Jadi ya... Vega let it flow aja. Nggak berusaha cari tahu."

"Wah, padahal seru loh. Ane tuh, penerus Bunda. Kalau sekarang, Bunda ingat umur. Terus, Vega kemana aja selama ini? Bunda tuh pengin nyamperin kamu di Airlangga. Tapi kata Mas Er, kamu ilang-ilangan."

Vega meringis, merasa bingung harus menjawab apa. "Kalau jadwalnya masuk, Vega pasti masuk kok, Bunda. Cuma kadang beda jadwal sama praktek polinya dokter Erlangga."

"Iya ya? Bunda lupa sudah lama nggak kerja. Yang penting kamu ada dihadapan Bunda sekarang. Bunda kangen banget soalnya."

Vega terkesiap ketika Ara memeluknya dengan lembut, seakan Vega adalah darah dagingnya sendiri. Tanpa bisa menyangkal, Vega menerima pelukan itu dengan sukarela. Entah kenapa, beban yang selama ini menghimpitnya menghilang, namun itu tak bertahan lama ketika mengingat Ibunya telah tiada dan kata-kata Ayahnya kembali terngiang.

Karena kamu lahir, Ibumu pergi.

Pelupuk matanya terasa panas, dan ketika usapan lembut menyentuh bahunya, pertahanan Vega luruh, bersamaan dengan air mata yang jatuh di kedua pipinya.

"Sakit Bunda..."

Ya, hatinya sangat sakit mengingat perlakuan Ayahnya yang membuatnya bertumbuh seorang diri. Dia lelah memaksakan diri untuk menjadi gadis yang kuat ketika netra orang memandangnya.

Usapan lembut itu tidak berhenti, meskipun setelahnya pelukan itu terurai, dan tanpa sadar Vega mengusap air matanya dengan tangan yang membuat matanya perih bukan main, karena dia sama sekali belum mencuci tangannya yang terkena irisan bawang. Namun, setidaknya Vega memiliki alasan untuk meniadakan tatapan prihatin Ara.

"Sakit, mata Vega perih."

Raut wajah Ara berubah cepat, "Mas! Mas Altair! Ambilin tetes mata di kotak obat!"

Tak lama setelahnya, tetangga satu lantainya itu mengangsurkan obat tetes mata yang dia bawa pada ibunya. "Kenapa lagi sih, Bun? Heboh banget. Makanya kalau masak tuh pakai helm, biar matanya aman."

Dalam bayangan matanya yang memanas, Vega bisa melihat Ara mencubit perut Altair. "Ngaco kamu, Mas! Bisanya cuma nggiling aja, aneh-aneh pikirannya. Kasihan itu Vega, nggak sengaja matanya ke usap tangan yang habis pegang bawang."

Ketika Vega ingin mengambil tetes mata yang ada dalam genggaman Altair, laki-laki itu menahannya. "Tangan kamu belum bersih, kan? Sini saya bantu."

Mereka kini berdiri berhadapan, mungkin jarak mereka hanya sebatas siku. Namun selang beberapa detik Vega sama sekali tak merasakan cairan apapun yang mengenai matanya.

"Sini, biar Bunda saja! Lama kamu, Mas! Keburu mata Vega perih."

Satu kali, dua kali, tiga kali kerjapan mata, pandangan Vega kembali jelas, begitu cairan yang Ara teteskan mengenai netranya. Yang Vega lihat pertama kali adalah wajah khawatir Ara. Namun, entah kenapa Vega merasa senang, mungkin karena Ara terlihat benar-benar tulus di matanya, atau pandangan Ara yang terlihat berbeda. Ara tidak memandangnya seperti dia butuh belas kasih. Tetapi wanita itu memandangnya, seolah Vega adalah sosok yang berharga.

BPJS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang