Klaim - 4

18K 2.5K 41
                                    

Playlist : Kiss and Make Up - Blackpink feat Dua Lipa.
*****

Altair tersenyum puas begitu mendapati wajah kesal Vega ketika mereka bertemu dalam ruang instalasi farmasi rawat jalan. Rasanya, Altair tidak akan cukup jika tidak mengganggu Vega barang sehari. Asalkan tidak membuat gadis itu kesal berlebihan, Altair rasa tidak masalah. Lagipula ini adalah upaya pendekatannya supaya gadis itu bersedia dengan sukarela ditangani olehnya dan seniornya, dr. Triasto Putro, Sp. JP(K), FIHA, FAPSC.

Sejujurnya, meski Altair menyanggupi kata-kata Ayahnya untuk membujuk Vega demi kelangsungan hidup gadis itu, entah kenapa ada sedikit sebersit rasa ragu yang hinggap dalam diri Altair. Jika biasanya pasien adalah ajang pembuktiannya sebagai dokter spesialis yang masih tergolong baru, Altair sedikit takut untuk mencari tahu aneka macam kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Untuk kali pertama, Altair berpikir, bahwa bersama dokter Triasto yang sebagai DPJP utama, akan lebih baik daripada dia yang mengambil bagian itu.

Tetapi, dia sadar bahwa seorang pasien berhak memilih dokter siapa yang berhak merawatnya. Maka dari itu, nantinya dia juga akan memberikan pilihan itu pada Vega. Sekarang tugasnya adalah membujuk gadis itu untuk kembali menyadari, bahwa masih ada banyak jalan yang membawa gadis itu pada kesembuhan.

"Kak dokter Altair!"

Altair tersenyum begitu mendapati anak laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu berjalan menghampirinya.

"Oh, Hai! Satrio."

Altair mengusap puncak kepala anak laki-laki itu, meski tinggi Satrio hampir sama dengan tinggi badannya.

"Bukannya jadwal kontrol kamu masih dua minggu lagi? Jangan periksa dulu, lho! Harus sesuai tanggal atau mundur. Kalau maju, nggak akan bisa dapat obat."

Satrio tertawa. "Saya kesini mau ketemu Kak dokter, kok! Sudah hapal lahir batin, sama jadwal kontrol."

Tanpa sungkan, Altair merangkul bahu anak laki-laki itu. Sejujurnya, Satrio adalah pasien pertama yang dipercayakan Ayahnya. Jadi, Altair telah menganggapnya sebagai adiknya sendiri.

"Oh, ada apa? Kita sambil ngemil ya? Kerjaaan saya sudah selesai, kok."

Altair membawa Satrio di salah satu Caffe yang berada di dekat Airlangga Hospital. Anak laki-laki itu masih terlihat menikmati susu cokelat yang dipesannya.

"Nggak papa, kan? Kalau disini? Takutnya kalau di kantin Airlangga Hospital, jadinya akan ramai banget."

Satrio meletakan gelas diatas meja. "Nggak masalah kok, Kak. Saya yang nggak enak gangguin Kakak."

"No problem." Sahut Altair cepat. "Jadi ada apa?

Satrio terlihat gugup, namun setelah menunduk sekian lama, dia memberanikan diri menatap wajah Altair. "Kalau terapi dan pengobatan saya dihentikan, tidak akan terjadi apa-apa kan, Kak?"

Altair mengerutkan kening, "Apa maksud kamu? Operasi lanjutan kamu akan dilakukan usai kamu ujian nanti. Jangan bicara sembarangan! Sebenarnya, apa yang terjadi?"

Satrio kembali menunduk sambil menautkan tangan, "Sebenarnya, sudah tiga bulan ini orang tua saya tidak sanggup membayar iuran asuransi. Saya tidak mau membebani mereka hanya karena penyakit saya ini."

Altair menghela napas dalam. Satrio anak yang cerdas. Semangatnya untuk sembuh juga tinggi. Namun, keadaan ekonomi nyaris membuat anak laki-laki itu hilang kesempatan untuk meraih kesembuhannya. Ayah Satrio hanya seorang buruh, sedangkan Ibunya hanya penjual gorengan keliling. Selain itu, Satrio juga memiliki tiga adik yang masih butuh biaya sama besarnya.

BPJS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang