Klaim - 11

14.8K 2.6K 143
                                    

Playlist : Nu'est - Must.

*****

Absen dulu yang kangen Mas Embul, kasih emot 💪💪💪yang banyak biar dia semangat, soalnya part ini otw nggrantes wkwk

*****

Altair menghela napas berat, laki-laki itu menatap tumpukan lipatan bangau yang berhasil dia lipat, berhasil memenuhi ruang kerjanya, tetapi jumlahnya masih sangat jauh untuk menyentuh angka tiga ribu. Lusa adalah jadwal operasi Satrio. Dan entah kenapa sekarang kepercayaan dirinya menghilang dalam sekejap begitu mendengar kata-kata Vega usai mereka bertemu Satrio kemarin.

Awalnya, Altair selalu membangun komunikasi yang baik dengan pasien agar dia melakukan segala sesuatunya dengan hati. Dan terbukti, sampai hari ini, operasinya tak pernah gagal. Tuhan masih begitu baik padanya, sehingga dia tak pernah menyaksikan pasiennya sendiri meregang nyawa.

Tetapi, tiba-tiba kepercayaan dirinya runtuh dalam sekejap, mengingat Satrio yang menaruh harapan begitu besar padanya, dan Vega yang mengungkapkan ketakutannya. Altair bukan penyembuh, dia hanya perpanjangan tangan Tuhan, dia hanya bisa melakukan yang terbaik dalam versinya, sisanya Tuhan yang menentukan.

Bagaimana jika dia gagal?

Tetapi, kenapa perasaannya tidak enak, ya?

Bunyi bel apartemennya, di iringi dengan ketukan pintu membuat Altair tersadar dari pikiran panjangnya. Laki-laki itu bergegas menemui tamu-nya yang datang saat tak terduga. Seperti sekarang ini. Sedangkan setelahnya, dia hanya bisa terkejut mendapati Satrio yang berada di balik pintu.

"Loh, Satrio? Ada apa? Bukannya lusa sudah jadi jadwal operasi kamu?"

Anak laki-laki itu menatap Altair ragu, tanpa membuang waktu, Altair mempersilahkan Satrio untuk masuk.

"Ehm, Kak. Aku ingin bicara sesuatu. Tapi tolong jangan terbebani dengan apa yang aku katakan nanti."

Alis Altair berkerut, ketika menyadari Satrio terlihat gelisah di tempatnya.

"Aku nggak tahu kenapa feeling-ku nggak enak. Aku tahu, Kak Altair pasti akan berbuat yang terbaik untuk aku. Untuk kesembuhanku. Tapi--"

Dengan cepat Altair menahan Satrio untuk berbicara. "Kakak sudah bilang, kamu tidak perlu memikirkan apapun. Kalaupun memang harus berpikir, berpikirlah tentang segala sesuatu yang positif."

"Aku tahu, tapi aku nggak bisa." aku Satrio. "Tetapi, Kak. Bukankah kita juga harus bersiap dengan segala kemungkinan terburuk?"

Altair menghela napasnya. "Apa yang ingin kamu katakan?"

Anak laki-laki itu terlihat semakin gelisah. Gestur tubuhnya sama sekali tidak bisa berbohong.

"Kalau Tuhan berkehendak lain..." Satrio menelan ludahnya kasar. "Bisakah Kak Altair menjaga keluargaku? Dan jangan salahkan diri Kakak sendiri, atas apa yang terjadi padaku nanti."

Sejak Altair menawarkan membayar iuran asuransi wajib milik keluarga Satrio, dia memang sudah sedekat itu dengan Satrio dan keluarganya. Tak jarang, keluarga Satrio selalu memberinya masakan rumahan untuk disantap di rumah. Dan seiring berjalannya waktu pula, Altair dan Satrio tidak lagi menggunakan bahasa formal, bercakap seperti kakak dan adik dengan sendirinya.

Mendengar apa yang dikatakan Satrio, membuat Altair mengusap wajahnya kasar. "Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu takut? Kalau takut dan sebenarnya belum siap, kita bisa tunda operasi kamu, dengan segala resiko yang pernah Kakak katakan ke kamu."

BPJS (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang