Chapter 1. Bird's Opening (Part 1)

899 76 12
                                    


Bayangan di dalam cermin itu membentuk senyum kecut. Iris hitam di dalam rongga mata menyorot tajam. Jemarinya menyapu rambut yang kini menjuntai. Tidak panjang layaknya gadis lain yang penuh poni untuk menutupi kening yang lebar atau maju ke depan. Isel memiringkan kepala, menatap anak rambut yang bahkan tidak menutupi leher. Terlalu lurus dan pendek. Membuat garis rahang yang tegas ini semakin menonjol. Jelas bukan tipe wajah yang akan membuat pria berdecak kagum saking cantiknya. Bukan tampang imut yang membuat semua orang tergerak untuk menepuk kepala atau mencubit pipi.

Mungkin lain kali bisa mencoba rambut palsu dengan aksen melingkar-lingkar. Pikiran itu membuat seulas senyum kecil terbit di bibirnya. Jelas akan mirip tante-tante yang setia menanti untuk menepuk pantat pria-pria kesepian.

Kesepian, huh?

Jelas bukan kata yang menarik untuk dibahas. Sejenis ungkapan, sudah tahu menginjak kotoran ayam, masih juga dicium. Jelas artinya, tidak perlu diperjelas dan dipertanyakan untuk membuat semuanya tampak buruk dan menyedihkan.

Bayangan itu tampak semakin mengerikan dengan buramnya cermin saking jarang dibersihkan. Matanya beralih lalu beralih menatap ruangan kamar kos sempit itu. Kamar kos yang nyaris kosong tanpa isi. Hanya beberapa botol parfum terguling di atas meja. Berserakan bersama puntung rokok dengan variasi panjang sisa batangnya. Beberapa batang masih menyala di permukaan asbak. Sisa sundutan yang belum habis terbakar. Cangkir-cangkir bekas kopi teronggok memenuhi wastafel berpelukan dengan piring kotor. Saling bertegur sapa bersama debu tebal yang memenuhi tembok di dekatnya.

Gadis itu menarik napas berat. Mengambil eyeliner di permukaan meja, mengoleskannya di kelopak mata dengan ketebalan maksimal. Membentuk mata kucing dengan ujung meruncing. Matanya beralih pada batangan lipstick di meja. Meraih satu batang yang baru dibeli kemarin di toserba depan flat-nya kemarin malam. Warna merah mulai menyala di permukaan bibir. Warna yang menantang untuk dipakai di malam hari. Dia tidak peduli kalau pemilihan warna gincu ini menjadi sesuatu yang akan berdampak buruk di masa depan. Tidak peduli karena dia ingin orang itu mengenalinya sesaat setelah melihat. Sekali bertatap muka maka dia akan melihat semuanya. Isel terkekeh pelan, harapan ini terkesan mustahil memang, ingatan manusia tidak pernah sebagus itu.

Napas kasar meluncur keluar dari hidung. Orang itu menyukai warna ini. Semerah darah katanya. Darah yang ternoda di atas kain putih akan menimbulkan warna seram yang cantik. Jemari orang itu senang mengusap bibir Isel kala itu. Isel menarik napas pelan sembari mengusap bibir yang kini telah berubah warna menjadi seranyum kulit apel. Menutup sempurna retakan-retakan kecil di permukaannya.

Semua hal di dalam pikiran buyar kala suara ponsel itu menyalak nyaring dari atas nakas. Tangannya bergerak cepat. Buru-buru meraih benda itu sebelum menimbulkan kebisingan yang mungkin akan membuat gendang telinga bermasalah.

Dahinya berkerut saat membuka pesan pendek yang kini tertera di layar ponsel.

"Blok 56. Malam ini."

Melirik jam dinding yang bertengger di dekat gorden. Pukul delapan lewat sepuluh menit. Isel meraih jaket kulit yang terkulai di atas ranjang. Memasukkan kaki ke dalam sepatu bot selutut tanpa heels. Meraba pisau lipat mungil yang terselip di kantong luar sepatu itu yang terjepit ikatan kulit untuk mencegah pisau itu meluncur keluar.

Koridor dengan penerangan remang dan lampu hidup mati setiap beberapa menit menyambut saat gadis itu menutup pintu. Sol sepatu menimbulkan bunyi yang menebas keheningan malam ini. Isel merapatkan jaket saat udara malam menampar. Melangkah cepat melewati trotoar yang masih ramai. Matanya melirik sekilas pada satu pasangan yang sedang bercumbu di bawah pohon ditemani kegelapan yang membuat jari si pria lebih mudah meraba-raba. Isel mendengus, sebal sekaligus iri.

Wajahnya terangkat ke depan, mempelihatkan wajah penuh riasan setelah tarikan napas kesekian. Langkahnya yang semula ragu kini makin berani.

'Ya, aku hanya seorang wanita yang sedang ingin berkencan.'

Isel mengulang semua kata-kata itu dalam kepalanya. Ingin menampilkan kesan itu sekarang juga sekaligus berharap kalau aktingnya sempurna. Kenyataannya memang begitu, berkencan.

Kakinya melangkah cepat memasuki gang sempit. Menginjak kerikil yang berserak di jalanan. Dia berbelok ke dalam deretan kios kosong yang tertutup rapat. Memasuki celah gelap karena lampu padam. Blok 56 hanya kode. Kode di antara mereka pada KnightBreak, duo pencuri di kota. Seorang pria berpakaian serba hitam menyambut. Jemarinya menyapu rambutnya yang jatuh di kening. Keremangan seketika menyambut. Namun Isel masih bisa melihat wajah oval sosok di depannya dengan jelas.

"Kau datang tepat waktu!" puji pria itu.

"Kamu lebih cepat."

"Kenapa kita harus bertemu di tempat ini, sedangkan ada tempat lain yang lebih hangat." Isel menunduk saat mengucapkan kalimat memalukan itu. Dia berusaha menyembunyikan pipinya yang memerah.

"Keamanan."

"Selalu begitu."

Pria itu mengulum senyum sembari mengulurkan secarik kertas ke arah Isel. Dia menatap wajah pria itu lalu berganti pada kertasnya. Seukuran kertas post-it dengan deretan huruf mungil di permukaan. Membaca deretan kata mungil itu.

"Lokasinya—"

"Aku tahu," potongnya cepat.

"Kau perlu penjelasan lain?" Pria itu tampak masih ingin mengajak Isel berlama-lama di lokasi ini. Senyuman mengembang di wajahnya. Dalam keremangan gadis itu bahkan bisa melihat bibir pria itu tertarik ke atas.

"Tidak."

"Bawa benda itu ke distrik 3 dan serahkan pada kurir. Jangan sampai gagal."

"Tentu."

"Semoga berhasil."

Isel mengangguk. Berbalik pergi dengan langkah panjang, Distrik 3 juga hanya kode. Bukan distrik itu yang mereka maksud. Tempat itu hanya kode untuk memilih salah satu lokasi untuk bertemu kurir. Menyerahkan barang dan tugasnya selesai. Oh, tugas ini tidak semudah mengambil barang, dia harus mencuri barang itu malam ini juga. Isel menarik rambutnya ke atas dan membiarkannya saja saat angin mengibaskannya ke udara. Dia lalu mempercepat langkah dengan bibir tertarik ke atas membentuk seringai.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang