Chapter 37. Latvian Gambit (Part 6)

73 25 0
                                    


Mungkin benar kata orang kalau keberuntungan tidak akan pernah berulang sampai ketiga kali. Setelah dua kali menyelamatkan kepala dari lesapan peluru, untuk kali ketiga sepertinya jiwanya akan terpisah badan. Ya mungkin, dua kejadian sudah cukup repetitif jadi tidak akan menyenangkan kalau harus diulang untuk ketiga kalinya. Bahkan adegan itu tidak akan menarik lagi untuk dibahas bahkan di dalam novel paling picisan sekalipun, apalagi ini semesta kan. Semesta punya sejuta cara untuk membuat milyaran manusia memiliki jalan hidup yang berbeda-beda dan berkesan untuk setiap kehidupan. Bahkan kalau pun ada reinkarnasi, rasanya manusia tetap tidak akan menjalani kehidupan yang sama persis seperti sebelumnya.

Isel belum sempat bereaksi kala butiran peluru memelesat ke arahnya. Kelopak matanya melebar ketika benda itu bergerak semakin cepat, tetapi tubuhnya tetap kaku. Reaksi yang bisa dilakukannya hanya memiringkan sedikit kepalanya. Mungkin usaha yang sia-sia, akan tetapi Isel tidak menyesal. Buktinya peluru itu melewati bagian samping kepalanya dan hanya menggores pipinya. Meski begitu, jantungnya melompat di dalam dada ketika benda itu membentur kaca jendela dan menimbulkan bunyi berisik setelahnya. Mungkin dia hanya beruntung kali ini karena si penembak terlalu pintar membidik sasaran. Hanya saja, keberuntungan pasti tidak berulang beberapa kali kalau dia hanya duduk saja seperti pesakitan. Isel baru meraih pistolnya kala bidikan selanjutnya sudah datang menyerbu.

"Ugghhh!!!" Napasnya tersentak keluar kala timah panas itu melesak langsung ke tubuhnya.

Rasa perih menjalar di lengannya kala dia mengangkat tangan dan menarik pelatuk untuk mengirimkan tembakan balasan. Satu tembakan berhasil mengenai sasaran dan membuat satu musuhnya roboh. Namun, tembakan balasan datang menyerang lebih cepat dari perkiraan. Isel bergerak ke samping untuk menghindar sambil menembak juga demi melindungi dirinya. Pada akhirnya dia berhasil menghindari beberapa tembakan, hanya saja dia tidak yakin bisa melakukannya sampai akhir.

Isel mulai menghitung sisa peluru di dalam magasin. Melihat jumlah lawannya sekarang dan kondisinya yang terperangkap seperti ini maka mungkin tidak akan ada kesempatan untuk mengisi ulangnya magasinnya. Jadi peluru yang tersisa berbanding lurus dengan waktunya untuk bisa tetap bernapas. Hidupnya bisa berakhir kapan saja.

Benar saja, suara letusan terdengar lagi dan kali ini dari belakang. Isel menoleh sekejap sebelum akhirnya roboh ke lantai karena peluru lain kini mengenai kakinya. Serangan dari arah belakang itu hanya pembuktian lain kalau nyawanya sebentar lagi akan melayang karena dirinya sekarang benar-benar sudah terkepung. Namun, dia masih berusaha untuk bangun. Dia belum mengucapkan selamat tinggal pada Noel dan selama ini sudah berusaha keras. Sangat keras untuk tetap hidup.

Isel baru saja hendak mengangkat pistol dan mulai menembak lagi ketika seseorang mendorong kepalanya hingga jatuh kembali ke lantai. Dia ingin menoleh dan mengumpat, akan tetapi musuh di depannya yang sejak tadi mengirim serangan mulai roboh satu persatu. Bunyi letupan pistol beruntun terdengar dari sampingnya. Tembakan itu berasal dari pemuda berambut putih yang terus-menerus menarik pelatuk tanpa henti. Setiap pelurunya menemukan sasaran dan tidak ada satu pun yang bisa lolos dari bidikannya. Hanya saja, pertanyaan terbesarnya adalah pemuda berambut putih itu sebenarnya kawan atau lawan?

"Kamu ngapain? Tiduran?" tanyanya.

"A—pa?" Isel tergagap menjawab.

"Kalau kamu enggak tidur, berikan pistolmu padaku dan isi magasin punyaku!" katanya lagi.

"Apa maksudmu?" Isel masih belum memahami kata-kata pemuda itu.

Kenapa dia harus memberikan pistolnya pada orang asing di saat begini, saat orang asing itu bisa saja mengincar kepalanya. Jadi asisten calon pembunuhnya rasanya jadi menyedihkan kalau dipikirkan.

"Cepat!" desisnya.

Ya, apa pun itu terserah saja. Toh, akhirnya nyawanya tetap akan melayang. Setidaknya mati sekarang lebih baik daripada menunda merasakan sakit. Isel mengangkat pistol dan mengarahkannya ke kepalanya sendiri.

"Kau sudah gila, aku bilang berikan pistolmu, bukan tembak kepalamu!" pekiknya sambil menepis tangan Isel yang kini sudah mendekati pelipis.

Pistol itu terjatuh di lantai, sementara Isel masih terlalu bingung untuk mencerna situasi yang terjadi sekarang. Hanya saja, pemuda itu mulai mengumpat ketika pistol di tangannya mulai kehabisan peluru. Dia buru-buru mengulurkan tangan untuk meraih pistol milik Isel yang tadi sempat terjatuh. Akan tetapi, satu prajurit kini tengah mengarahkan senjata pada pemuda itu. Isel meraih belati dari sarungnya yang terselip di paha. Dia lalu melemparkan belati itu sekuat tenaga dan tepat mengenai mata kiri penyerang itu. Orang itu mengerang dan langsung terjatuh di lantai. Matanya yang terluka tidak berhenti mengalirkan darah.

"Lemparan yang bagus!" puji pemuda itu sambil mengarahkan tembakan lagi ke lawan yang tersisa.

Isel kini memilih untuk mengisi ulang magasin di dalam pistol pemuda itu karena sewaktu-waktu peluru di dalam pistolnya akan segera habis. Benar saja, magasin di pistol miliknya langsung kosong setelah tiga kali tembakan. Isel langsung mengulurkan pistol hitam itu kembali kepada pemiliknya dan meminta kembali senjatanya.

"Cepat tanggap juga!" puji pemuda itu.

Dia tidak sempat menanggapi pujian itu karena seseorang yang lain ini berjongkok di dekatnya. Seorang pria juga dan kini menembak juga ke arah lawan yang ada di depan sana. Dia terlihat lebih tua dibanding pemuda yang berambut putih. Siapa lagi dia?

"Kita harus segera pergi, Yang Mulia!" kata pria itu.

Eh, Yang Mulia? Maksudnya? Apa enggak salah bicara? Apanya yang mulia dari seseorang yang gemar mengumpat dan membunuh seperti itu?

"Sebentar lagi, Ben!"

"Tidak, kita harus pergi sekarang!" Pria itu bersikeras.

Pemuda berambut putih itu menoleh sekilas lalu tersenyum simpul. "Baiklah. Kamu bawa anak ini!"

"APA?" Isel dan seseorang bernama Ben itu memekik bersamaan.

"Kalian mau cepat pergi atau masih mau di sini?" tanyanya. "Dan kamu, Ben. Ini perintah!"

"Kamu bisa jalan?" Pria itu kini mengalihkan perhatiannya pada Isel yang sibuk mengisi ulang magasin pistolnya.

"Sepertinya tidak," sahut Isel cepat.

"Gendong dia, Ben!"

Isel belum sempat memprotes karena pria bernama Ben itu langsung menarik lengannya. Tidak membutuhkan waktu lama sampai Isel kini sudah berpindah posisi ke punggung pria itu. Gadis itu lalu melemparkan pistolnya dan diterima oleh pemuda berambut putih itu dengan tangan kiri. Ben sudah bergerak pergi, sementara pemuda—yang dipanggil Yang Mulia—itu terus menembak. Dua tangannya memegang pistol dan dia memuntahkan peluru dari kedua benda itu. Tembakan yang diarahkan juga tepat sasaran dan setiap peluru yang terlontar pasti memakan korban. Benar-benar luar biasa. Namun, Isel tidak bisa berlama-lama takjub karena pria yang kini menggendongnya sudah sampai di teras.

"Jangan bilang mau lompat?" ucap Isel tertahan.

"Tepat!" Pemuda berambut putih itu menyahut sambil menyeringai, entah kapan pemuda itu sampai di dekat Isel.

Pemuda berambut putih masih tetap meletupkan tembakan meski sekarang sudah menyusul Ben. Sementara itu, Isel belum sempat menjawab ketika Ben kini meluncur dari teras dan kini berlari menuju taman. Gadis itu memejamkan mata sementara punggung yang ditumpanginya terus berayun. Suara langkah kaki Ben dan pemuda itu tertutup dengan suara tembakan. Serangan pemuda itu sepertinya tidak berhenti dalam waktu dekat karena desingan peluru dari belakang masih terus terdengar. Dia hanya sedikit berharap kalau tidak ada peluru yang mengenai salah satu dari mereka bertiga.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang