Chapter 24. Barnes opening (Part 2)

75 25 0
                                    

Max masih memandangi mobil yang kini terparkir di dekat danau itu. Kaca depan mobil ini pecah dan terdapat airbag setengah kempes di tengah roda kemudi. Namun, tidak ada percikan darah di dalam mobil dan lingkungan sekitarnya. Bemper bagian depan tergores sementara bagian belakangnya nyaris terlepas. Dilihat dari bekas roda di jalanan sepertinya kendaraan ini tertabrak dari belakang lalu terdorong hingga ke tepian danau ini. Hanya saja, apa kecelakaan semacam itu mungkin terjadi? Kalau memang hanya kecelakaan, lalu ke mana pemilik mobil ini?

"Byul, apa kau sudah mencoba memeriksa rumah sakit terdekat?" tanyanya.

"Sudah, tidak ada pasien korban kecelakaan sejak tiga hari terakhir."

"Kalau bukan kecelakaan lalu apa?" gumam Max.

"Pencurian celana dalam!"

"Apa?" Max buru-buru menoleh.

Seorang pria berambut pirang terang kini melambaikan tangan padanya. Mata biru kelamnya benar-benar menyebalkan apalagi saat ditambah dengan senyuman miring yang menghiasi bibirnya sekarang. Raphael, salah satu rekan yang ingin dilenyapkannya di Caragan dalam waktu dekat.

"Kudengar kau mengamati rekaman CCTV pencurian celana dalam akhir-akhir ini," katanya sambil berjalan mendekat.

"Kamu tahu banyak ya!" sindir Max.

"Ya, informasi kan mudah didapat, Maxmillian. Apalagi saat ketua tim investigasi yang seharusnya menyelidiki kejahatan berat malah mencari pecunri celana dalam. Coba periksa, bisa jadi kau punya fetish tanpa disadari." Raphael mengangkat kedua tangan lalu membentuk tanda petik maya dengan jari tengah dan jari telunjuknya.

"Kamu perhatian deh!" Max terkekeh pelan. "Gimana kalau kita periksa bareng, bisa jadi aku jadi semacam fetish juga buat kamu."

Senyuman mengejek di bibir Raphael langsung menghilang. Tatapan pria itu mengeras dan mata birunya terlihat lebih kelam dari sebelumnya. Melihat hal ini, Max mati-matian menahan tawa. Raphael memang bermulut tajam dan suka ikut campur urusan orang lain, akan tetapi di sisi lain dia juga mudah dipermainkan. Max masih berdeham pelan untuk menyembunyikan senyuman kala Raphael bergerak mendekat lalu berbisik di telinganya.

"Aku enggak masalah soal itu, asal kamu beritahu alasanmu diam-diam mengintai di kediaman Marquess Hastings semalam!" bisiknya

"Dari mana kau—"

"Kuberitahu kau, jangan terlalu sering mengendus ke mana-mana agar kau segera bebas dari pangkat rendahan itu!" katanya lagi sambil mendorong dada Max.

Max menarik napas lalu menatap pria itu lekat-lekat. "Lebih baik aku mengendus ke mana-mana daripada menggoyangkan ekor sepertimu untuk menjilat atasan agar naik pangkat."

Bibir Raphael berkedut pelan. Mata birunya yang menatap nanar jadi kelihatan jelas saat kelopaknya membuka lebar-lebar. Namun, ekspresi kaget itu bertahan lama di wajahnya karena mimik mukanya sekarang mengeras.

"Kamu tahu kan kalau semalam itu pelanggaran, Maxmillian?" ucap Raphael. "Sebagai atasan aku hanya memperingatkanmu untuk berhati-hati dan lebih berhati-hati."

Raphael menepuk pundak Max sebelum menjauhkan jarak. Pria itu lalu mengangkat alisnya, sementara senyuman Max mulai memudar. Dia kemudian bergerak menjauh meninggalkan Max yang mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh. Gigi Max saling bertaut, si anjing sialan itu! Dari mana dia tahu soal?

"Anjing gila memang lebih banyak menggonggong pada kita lalu menggoyangkan ekor pada atasan demi kenaikan pangkat. Sikapnya itu terpuji sekali ya, Senior!" cibir Byul sambil mendecakkan lidah.

Max tidak menjawab. Dia masih terpaku di posisinya. Kalau sampai misi undercover diam-diam yang dilakukannya dengan Byul semalam ketahuan maka habis sudah. Melakukan misi tanpa izin merupakan pelanggaran, apalagi sampai mengintai di depan rumah bangsawan. Dirinya mungkin hanya akan mendapatkan detensi atau bagian buruknya paling dipindah tugaskan. Lalu bagaimana dengan Byul? Bisa saja gadis itu akan dipecat. Uggh, memikirkannya saja sudah membuat perutnya melilit.

Kepalan tangannya semakin mengeras kalau mengingat kejadian semalam. Setidaknya seharusnya dia menemukan sesuatu agar bisa digunakan sebagai dalih. Akan tetapi, dia bahkan gagal mengejar buronan yang lari secepat kilat itu dan mendadak menghilang di tengah jalan. Dia sudah mencoba mencari di seluruh kawasan hingga pagi datang, akan tetapi dia tidak menemukan jejaknya sama sekali. Meski pada akhirnya ada pembunuhan, penemuan racun dan kecurigaan lain. Namun, semua itu tidak menyelamatkannya dari pelanggaran. Semuanya memang mengarah pada Khisfire, Max tahu dan sialnya semua orang juga tahu. Jadi dia tidak bisa menggunakan itu sebagai dalih untuk menyelamatkan diri dari aksi semalam.

"Senior!"

Max tersentak kala tepukan di bahunya lebih keras dari sebelumnya. Dia buru-buru menoleh lalu menatap Byul yang diabaikannya sejak beberapa menit lalu. Gadis itu sekarang tersenyum hingga kelopak matanya menutup.

"Lupakan soal anjing gila itu, Senior!" katanya lagi.

"Aku tidak memikirkannya," sahut Max.

"Aku tahu, Tapi, lupakan juga soal semalam. Aku tidak masalah soal semalam, jangan terbebani!" katanya lagi.

Max menarik napas lalu mendongak. Setelahnya dia memandangi Byul dan mengedikkan bahu. "Mari kita coba temukan sesuatu ketimbang cari muka pada atasan!"

"Baik, Senior!" Byul langsung memamerkan tawa lebar.

Max dan Byul langsung bergabung dengan anggota tim yang juga melakukan penyelidikan. Raphael sedang berbicara dengan anggota tim lain di dekat bagian depan mobil, sementara Max lebih memilih mengamati bagian belakang. Setelah Byul bergerak ke tempat lain, Max langsung memasang sarung tangan untuk mencari bukti atau apa pun yang bisa ditemukan dan bisa membantu penyelidikan. Pria itu lalu membuka pintu belakang mobil dan mulai mengamati bagian dalam. Dia berjongkok sambil merogoh bagian bawah kursi penumpang dan hanya menemukan botol air mineral yang nyaris kosong, plastik bekas makanan lalu alat pemotong kuku. Pria itu menggeleng cepat dan merogoh lebih dalam. Tangannya terhenti pada gundukan empuk. Max memiringkan kepala dan mencoba untuk meraih benda itu dari bawah kursi penumpang. Dia mengeluarkan benda itu pelan-pelan dan seketika keningnya berkerut kala menemukan benda di tangannya.

"Celana dalam?" gumamnya.

Max buru-buru memasukkan celana dalam itu ke dalam saku jaketnya kala ponselnya bergetar pelan. Nama Byul tertera di layar dan Max langsung mengangkatnya.

"Ya, Byul?"

"Ke sini sebentar deh, Senior!"

Max menoleh ke segala arah untuk mencari keberadaan gadis itu. Saat melihat keberadaan Byul yang kini berjongkok di dekat semak, Max mematikan sambungan telepon lalu berjalan mendekati gadis itu. Lokasinya tidak jauh, akan tetapi kalau Byul sampai menelepon maka ada sesuatu yang penting dan mungkin lebih baik dilihat berdua dulu sebelum orang lain tahu.

"Ada apa?" tanyanya begitu jaraknya hanya tersisa satu langkah saja dan suaranya cukup bisa didengar meski hanya pelan saja.

"Lihat ini, Senior!" pinta Byul yang tidak berdiri dan masih di posisi awalnya.

Max ikut berjongkok di samping Byul. Matanya membola sebentar kala melihat benda di tangan gadis itu. Sebuah ponsel dan kini sedang menyala. Mungkin itu ponsel pemilik mobil yang mungkin terjatuh atau sengaja dibuang.

"Ada orang sejak tadi menelepon nomor ini, Senior." Byul memberikan informasi.

Byul belum sempat menjawab karena ponsel itu kembali berdering. Ada nama di nomor telepon yang tertera. Lebih tepatnya bukan nama, akan tetapi kode—entah kode apa.

"1531?" gumam Max.

"Iya, sejak tadi nomor ini menelepon, Senior."

"Coba angkat!" pinta Max.

Byul mengangguk lalu menekan tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan telepon. Tidak lama setelahnya bunyi gemerisik terdengar lalu suara wanita yang tengah berdebat juga tertangkap. Namun, tidak lama setelahnya suara-suara itu mulai menghilang.

"Noel?" Suara di seberang itu menyebut sebuah nama.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang