Chapter 16. Pirc Defense (Part 6)

83 28 0
                                    


"Kalau aku mati, tolong bilang pada Casein buat ikut dikubur hidup-hidup!" Pemuda itu meremas dadanya sambil mencoba mencari mengais sisa oksigen di udara.

"Jangan banyak akting, saya tahu Anda baik-baik saja!"

Sebuah suara terdengar tidak jauh dari tempatnya sekarang. Pemuda itu mengerjap saat menatap sosok yang kini berdiri menjulang dengan tangan terlipat di depan dada. Sosok itu memiringkan kepala dan terlihat mengamati sambil mengejek. Pemandangan menyebalkan yang tidak direkomendasikan dilihat ketika baru membuka mata atau suasana hati akan memburuk seharian.

Pemuda itu menarik napas lalu mengusap darah yang meleleh di bibirnya. Dia menoleh sebentar untuk menatap ke atas. Langit-langit di atas kepalanya masih berputar dan tubuhnya masih lemas hingga rasanya sekarang dia hanya seonggok agar-agar tanpa tulang sama sekali. Namun, rasa sakit di dadanya mulai berkurang dan nyeri yang menyerang sekujur tubuhnya sedikit mereda. Debaran jantungnya juga mulai normal dan dia bisa menarik napas lebih panjang. Mungkin sudah setengah hari dia menderita seperti ini hingga sekarang tubuhnya mulai normal.

"Casein?"

"Ya?"

"Apa kamu Casein Frankland?"

"Iya, benar."

"Aku ingat namamu, tapi aku tidak tahu kamu siapa."

"Apa Anda amnesia? Apa ini efek racunnya?" Casein terdengar girang. "Mungkin akan ada hadiah Nobel untuk ini, luar biasa!"

Casein bertepuk tangan dan sepertinya sebentar lagi akan menari atau berputar-putar di ruangan. Mungkin dia memimpikan hadiah Nobel yang tidak akan pernah diraihnya seumur hidup.

"Hadiah Nobel?" tanya pemuda itu.

"Iya, saya pernah dinominasikan. Coba diingat lagi soal nominasi ini. Kalau soal yang lain, lupakan saja, bahkan Anda boleh lupakan siapa nama Raja kerajaan ini asal Anda ingat soal nominasi itu!" bujuknya. Dia benar-benar bersemangat.

"Oh iya, nominator hadiah nobel—" kata pemuda itu lagi.

"Ya, ya, yang itu," seru Casein sambil mengangguk-angguk. Dia benar-benar mirip induk burung sekarang. Pemuda itu berani bersumpah kalau ada kerlip samar di bola mata Carsein.

"Yang bodoh itu, kan?"

"Oh, bukan berarti," dengus Casein kecewa.

"Yang sering ditolak wanita!"

"Hentikan!"

"Aku amnesia, aku pasien jadi perlakukan aku dengan baik!" sahut pemuda itu.

"Bagaimana kalau Anda jadi aktor karena saya jamin kerajaan ini akan hancur kalau Anda jadi pewaris?"

"Sebelum itu aku akan memisahkan dulu kepalamu dari badan!" Pemuda sekarang memutar tubuhnya hingga telentang.

Casein terkekeh pelan, sepertinya tidak menganggap serius ancaman yang kini mengarah padanya. Pria itu bahkan sekarang duduk dan memegangi pergelangan tangan pemuda itu untuk memeriksa denyut nadinya. Casein sekarang melepaskan jarum yang terhubung dengan kantong infus yang sudah berkurang setengahnya.

"Kali ini Anda membutuhkan waktu lebih lama. Tapi, saya bisa paham Eitur bisa membunuh manusia bisa dalam hitungan menit." Casein sekarang membuka kemeja yang membalut tubuh pemuda itu untuk menekannya stetoskop beberapa kali di dadanya.

"Apa aku perlu pemeriksaan menyeluruh?"

"Sepertinya. Karena Anda sempat muntah darah, jadi kita harus lihat organ mana saja yang terpengaruh."

"Merepotkan!" dengus pemuda itu.

"Kalau mau mati karena efek jangka panjang ya jangan lakukan pemeriksaan itu. Saya sih menyarankan Anda tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan agar cepat mati dan tidak merepotkan saya lagi!" ketusnya.

"Dasar jahat!"

"Saya memang jahat!" katanya sambil menusukkan jarum suntik berisi antidot di lengan pemuda itu.

"Kamu pakai jarum apa!" pekik pemuda itu sambil memelototkan matanya.

"Karena saya jahat jadi saya pilih jarum yang paling besar," tukas Casein cepat. Dia membenarkan letak kacamatanya dan terlihat puas. "Jangan cengeng deh!"

Pemuda itu mengerucutkan bibirnya dan mengusap lengannya yang masih perih. Casein sepertinya sengaja mengerjainya, meski dia tahu kalau pria itu tidak jahat. Casein juga terlihat puas setiap kali dia menyelesaikan latihan dengan racun ini. Tampaknya dia jadi bahan penelitian yang berharga untuk pria itu dan tentu saja batu lompatan agar mendapatkan hadiah Nobel. Masalahnya hadiah itu tidak akan diberikan pada penjahat sepertinya, sayangnya pria itu masih belum sadar juga sampai sekarang.

"Masih ada waktu dua jam sebelum kelas selanjutnya, jadi sebaiknya Anda tidur!" kata Casein sambil beranjak berdiri.

"Iya."

"Saya sudah menyuntikkan obat tidur, jadi Anda akan tidur dua jam tanpa terbangun."

"Oke."

"Selamat tidur, Tuan. Saya akan menganalisis hasilnya sekarang!" Casein menundukkan kepala untuk memberikan hormat. "Ah, saya lupa, Selamat sudah menyelesaikan latihan hidup-hidup."

"Masih berapa sesi lagi sampai semua ini selesai?"

"Sejauh ini satu sesi lagi untuk Eitur paling pekat. Kecuali nanti ada racun baru yang belum pernah Anda rasakan maka sesi latihan bisa tetap berlanjut," lanjut Casein.

"Baiklah, kamu bisa pergi!"

"Niall akan menyembut Anda untuk latihan bertarung setelah ini."

"Aku tahu."

"Selamat tidur, Tuan!"

"Ah, aku punya pesan penting buatmu, Cas."

"Apa itu?" Alis Casein terangkat.

"Selama aku tidur, cepat hamili tunanganmu jadi dia tidak kabur-kaburan lagi atau kamu perlu bantuanku?"

"Tidak, terima kasih." Casein mengangguk sekali lagi dan bergerak keluar.

Pintu kamar itu tertutup dengan keras dan terdengar makian dari baliknya. Pemuda itu tertawa pelan. Selalu menyenangkan menggoda Casein. Namun, tawa itu pelan-pelan mereda. Sekarang hanya kesunyian yang bersamanya dalam ruangan ini.

Dia menarik napas lalu menatap langit-langit. Sudah dua belas tahun dia melakukan semua latihan mengerikan ini, hanya demi alasan sederhana yaitu untuk bertahan hidup di kerajaan menyebalkan ini. Terkadang dia ingin lari. Mungkin kakek dari pihak Ibu akan menerimanya. Namun, dia tahu pasti kalau ayahnya dan kerajaan sialan ini tidak akan melepaskannya begitu saja. Meski dia tahu ayahnya akan mengejarnya sampai ke ujung dunia dengan alasan peduli padanya, akan tetapi Diliar tidak akan melepaskan karena alasan semacam itu. Kerajaan ini akan dengan senang hati mencungkil bola matanya agar mayatnya tidak pernah dikenali lagi.

Dia mengulurkan kepala ke atas dan mengusap surai di kepalanya. Mungkin semuanya akan berbeda kalau dia mencukur habis rambutnya atau mencongkel keluar kedua bola matanya—seperti kemauan orang-orang gila. Namun, dia tidak akan melakukannya demi mereka yang sudah siap untuk membunuhnya kapan saja. Surai ini adalah peninggalan mendiang ibunya. Sedangkan warna bola mata itu milik ayahnya adalah bukti kalau dia pun berhak untuk bersaing sebagai pewaris keluarga. Tentu saja, di atas semua itu dia berhak untuk hidup.

Pemuda itu menaruh tangan di atas kepala saat kelopak matanya mulai menutup. Dia harus istirahat sebentar karena Niall tidak akan memberinya ampun di latihan bertarung nanti. Sekali lagi dia sudah terbiasa untuk bertahan meski rasanya semua bagian tubuhnya remuk. Katanya dia harus siap untuk bertahan kalau terdesak. Musuh tidak akan memikirkan dia terluka atau keracunan sekali pun, mereka akan membunuhnya kapan pun dia lengah. Mungkin itu sebabnya ayahnya selalu mengatur latihan bertarung setelah ketahanan racun. Namun, dia tidak membenci semua itu. Dia hanya sebal pada pelajaran etiket dan acara minum teh mengerikan yang harus dilakukannya setiap akhir pekan.

Dia menarik napas kala pelan-pelan mimpi lain mulai merambat masuk. Berharap mimpi tentang kebebasan akan muncul kali ini. Dia sudah lelah terbelenggu, meski hanya di dalam mimpi sekali pun. Ingin bebas meski hanya sehari saja. Ah, tidak, dua jam saja sudah cukup.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang