Chapter 7. Reti Opening (Part 2)

151 36 0
                                    

Isel tidak bisa melihat dengan jelas di bawah lampu temaram di ruangan ini. Meski begitu dia tidak ingin memicingkan mata atau mengerjap agar matanya jadi lebih tajam. Dia memilih memejamkan mata dan berharap kelopaknya saling merekat meski desahan napas kasar berhembus di telinganya dan mengirimkan aroma nikotin pekat ke hidungnya. Walaupun telapak tangan basah itu sekarang mulai menyentuh lehernya. Sentuhan yang membuat giginya gemeretak dan bibirnya melipat keras. Sentuhan berikutnya di dadanya membuat Isel menggigit ujung lidahnya. Ketika rasa asin memenuhi mulutnya, dia berharap ajal segera datang. Atau pilihan lain, dia ingin bisa mencekik leher dan membunuh orang ini sekarang juga kala punggungnya mulai menyentuh permukaan lantai yang dingin dan bobot tubuh yang besar itu mulai menimpanya.

"Sel! Isel!"

Panggilan itu membuatnya bergidik. Apalagi saat pria itu menyebut namanya sambil menyarangkan bibirnya di tengkuk Isel.

"Isel! Bangun!"

Suara itu terdengar lebih keras hingga membuat Isel membuka matanya lebar-lebar. Napasnya tersengal dan dadanya bergerak naik turun. Sentuhan di tengkuknya sudah tidak terasa lagi. Aroma nikotin dari mulut pria itu juga tidak lagi tercium. Punggungnya juga tidak lagi berada di atas permukaan lantai yang dingin, dia sudah memastikan dengan menyentuhkan tangan ke alas tidurnya sekarang. Kelegaan merambati hatinya kala jari-jarinya menemukan lipatan sprei.

"Kamu baik-baik saja?" tanya suara yang berasal tidak jauh dari tempatnya terbaring sekarang.

Isel menoleh dan menemukan wajah Noel yang kini terlihat panik. Dia mencoba tersenyum sambil mengangguk untuk menenangkan pemuda yang ini duduk di tepian ranjangnya.

"Mimpi buruk lagi ya?" tanyanya sambil mengusap kening Isel.

Sentuhan tangan Noel membuatnya bergidik dan tersentak. Isel buru-buru menatap pemuda itu. "Maaf," katanya.

Noel menggeleng. "Bukan masalah."

"Maaf ya, selalu saja begini."

"Kubilang tidak apa-apa, Isel" sahutnya sambil mengirimkan senyuman lagi. "Santai saja!"

Noel kembali mengusap kening Isel dan memindahkan helaian rambutnya ke bagian belakang. Isel masih sering kaget saat Noel menyentuhnya, meski sejujurnya dia menyukai sentuhan pemuda itu. Telapak tangan pemuda itu terasa seperti dilumuri butiran pasir setiap kali menyentuh kulitnya, akan tetapi tidak ada yang lebih menenangkan dari itu. Sensasi kasar itu juga membuatnya jadi memiliki sandaran. Sedikit aneh, hanya saja Isel sendiri tidak bisa mendeskripsikannya secara tepat.

"Tidurlah!" pinta pemuda itu.

"Kamu enggak tidur?"

"Aku nanti saja," katanya.

Isel mengangguk lalu memejamkan mata. Sebenarnya dia tidak ingin tidur sekarang, apalagi saat Noel ada di sampingnya. Dia ingin melewatkan waktu lebih banyak bersama pemuda itu. Hanya saja, dia juga tidak ingin membuat Noel kecewa kalau sampai tidak segera tidur. Meskipun, memejamkan mata sekarang mungkin akan menambah butir-butir keringat di tengkuk dan telapak tangannya. Dia takut kalau mimpi buruk itu akan datang lagi. Mimpi yang membawanya pada malam-malam panjang yang menyiksa di sudut ingatannya yang tersisa. Ingatan yang mati-matian dihapusnya, hanya saja Isel tidak pernah berhasil melakukan semua itu.

"Kamu belum bisa tidur?"

Isel membuka kembali kelopak matanya. Noel masih ada di posisinya beberapa menit lalu. Bibirnya tidak lagi menawarkan senyuman, akan tetapi wajahnya tetap terlihat tenang. Pemuda itu tidak pernah bertanya kalau dia jadi seperti ini. Karena pemuda tahu semuanya. Paham juga hal gelap di masa lalu yang mati-matian disembunyikannya.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang