Chapter 31. Amar Opening (Part 4)

64 27 0
                                    


"Apa dia masih ada di sini, Byul?" tanyanya setelah puas mengumpat dengan suara sepelan mungkin.

"Tadi sih masih, cuma kalau sekarang enggak mungkin, kan," sahutnya sambil mengamati ponsel di tangannya. Jemarinya dengan cepat menggulir layar. Matanya tidak berkedip sementara keningnya berkerut.

"Bagaimana?"

"Senior, dia bergerak!" kata Byul tiba-tiba.

"Ke mana?"

"Dari arahnya ke Distrik dua puluh satu!" katanya.

"Baiklah, kita pergi sekarang!" kata Max sambil memelesat menuju mobilnya.

Byul sempat mengucapkan terima kasih singkat pada penjaga keamanan sebelum mengikuti untuk kembali ke mobil. Max langsung memacu mobilnya tepat saat Byul memasang sabuk pengaman.

"Kamu perhatikan jejaknya, Byul!" pinta Max sambil memutar roda kemudi begitu mesin mobil mulai menyala.

"Baik, Senior."

Max menekan pedal gas kuat-kuat dan mobil itu langsung memelesat keluar dari halaman gedung apartemen tua itu. Ponsel itu beberapa kali berhenti dan cukup lama di satu lokasi, akan tetapi baik Max ataupun Byul sama sekali tidak menemukan jejaknya. Namun, keduanya tidak menyerah dan terus mengikuti jejak ponsel gadis itu. Hanya saja, firasatnya mulai tidak enak kala jarak ponsel itu terlihat sangat dekat dan kendaraan dalam radius yang sesuai adalah truk sampah. Awalnya Max tidak memikirkan kemungkinan kalau mereka berdua ditipu meski truk sampah itu selalu muncul dan terlihat berhenti di titik gadis itu juga tidak bergerak. Pikiran buruknya mulai mewujud menjadi kenyataan kala mobilnya kini memasuki lokasi pembuangan akhir yang ada di pinggiran kota.

"Senior!" Byul mendadak terdengar khawatir.

"Apa jejaknya berhenti, Byul?"

"Iya."

Meski Byul mengatakan kalau jejaknya terhenti, akan tetapi Max tidak menghentikan mobilnya. Dia terus mendekati lokasi pembuangan akhir yang dimasuki truk yang sejak tadi diikutinya. Max baru berhenti ketika mobilnya sudah ada di seberang gerbang masuk ke lokasi tumpukan sampah bersemayam. Pria itu lalu turun dari mobil dan mulai mengumpat sambil menendangi ujung rumput yang tumbuh di pinggir jalan.

Max terus mengumpat, entah umpatan keberapa yang terlontar dari mulutnya hari ini. Bagaimana tidak, sudah capek-capek mencari hingga ke distrik sembilan belas dengan taruhan nyawa ternyata buronannya sudah kabur. Saat mereka buru-buru mengejar karena sinyal ponsel Iselin bergerak dan di sinilah mereka sekarang, berakhir di depan tumpukan sampah menggunung di ujung kota. Tidak perlu menggali tumpukan sampah itu untuk memastikan keberadaan ponsel gadis itu, sudah pasti ada di dalam gundukan itu. Lima jam dihabiskan begitu saja dengan semua kekonyolan ini.

"Bagaimana ini, Senior?" tanya Byul sambil menatap ke depan.

Max masih belum ingin menjawab. Yang jelas, dia kini kehilangan jejak keberadaan gadis itu dan semua yang dilakukannya jadi sia-sia saja. Namun, dia terlalu marah untuk sekedar merespon Byul dan tidak ingin mengakui kekalahannya begitu saja. Hanya saja, dia tidak punya cara lain lagi. Meski harga dirinya sudah sudah hancur berkeping-keping, dia harus mengakui kalau dirinya kalah dari gadis itu. Gadis pencuri celana dalam itu lama-lama membuatnya sebal.

"Senior!" kata Byul lagi.

"Kita kembali saja sekarang!"

"Baik, Senior."

Kali ini Byul yang menggantikannya mengemudi karena gadis itu sepertinya khawatir kalau Max sudah terlalu lelah. Ah, tidak. Mungkin Byul jauh lebih takut karena dirinya terlalu marah hingga mungkin akan memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi di jalanan. Alasan mana pun itu, terserah saja. Yang jelas, Max lebih ingin diam saja karena kepalanya nyaris meletup saking kesalnya. Apalagi ditambah atasannya mulai menelepon dari kantor dan meminta mereka segera kembali.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang