Chapter 10. Reti Opening (Part 5)

108 32 2
                                    


Tidak pernah terbayangkan di dalam hidup Isel kalau kematian akan dalam jarak sedekat ini. Jarak kematian dan hidupnya beberapa inci. Peluru yang bisa menembus kepalanya hanya terpisahkan antara moncong pistol, pelatuk dan keningnya. Sekali pelatuk itu ditarik maka isi kepalanya bisa saja berhamburan keluar.

"Aku tanya sekali lagi, siapa kau?"

Isel ingin sekali menyebutkan namanya atau menyemburkan sejuta makian sekaligus. Namun, jangan melakukan semua hal yang dipikirkan sekarang bibirnya malah gemetar. Bahkan rasanya mau menelan ludah saja tenggorokannya mendadak mampet. Dari nada bicara pria itu jelas sekali dia memiliki jabatan yang jauh di atasnya. Isel sendiri tidak paham hierarki organisasi yang mempekerjakan sampai sekarang karena Noel yang mengurus segalanya. Dia hanya perlu menjalankan tugas, mendapat upah dan semuanya selesai. Sejujurnya, dia juga tidak tahu apakah orang-orang ini memang sering menodongkan senjata pada orang lain seperti ini.

"Bisu ya?" Pria itu memiringkan kepala. Seringai memenuhi bibirnya yang miring.

Isel meneguk ludah lagi. Dia mencoba membuka mulutnya, akan tetapi suaranya masih tidak keluar bahkan sekedar ringkikan sekali pun.

"Isel?" Noel sekarang bersuara.

Pemuda itu tergopoh-gopoh datang. Ekspresi wajahnya tidak terlalu kelihatan karena minimnya penerangan. Akan tetapi, dari nada suaranya Noel sepertinya khawatir. Hal yang membuat Isel diam-diam merasa senang.

"Ya?" sahut Isel.

"Turunkan pistolmu, Dude. Dia rekan kita!" perintah Noel.

Pria itu mendengus, akan tetapi moncong pistol yang semula nyaris menyentuh kening Isel langsung bergerak turun. Meski begitu, Isel belum bisa bernapas lega. Pria berbahaya itu masih berada sangat dekat dengannya, ditambah lagi jantungnya masih berdebar kencang sejak tadi.

"Lain kali jangan menyusup seperti tikus!" katanya ketus sebelum beranjak pergi.

Pria itu bergerak turun, mungkin kembali ke posisinya semula. Sementara itu tubuh Isel mulai goyah. Kakinya rasanya berubah jadi agar-agar, terlalu lembek untuk menopang tubuhnya. Gadis itu menyandarkan punggung di tembok sambil terus mengatur napas dan mencoba menenangkan detak jantungnya. Dia juga baru sadar kalau butir-butir keringat bermunculan di tengkuk dan dahinya.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Noel sambil berjalan mendekat.

Isel mengangguk, karena dia masih bersusah payah menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Dia tidak sampai roboh, hanya saja dia masih belum bisa mengatasi rasa kaget yang timbul setelah terlepas dari kematian.

"Kalau sudah baikan lebih baik langsung turun saja!" Noel menepuk bahunya.

"Iya," gumamnya dengan suara parau.

Noel lalu berjalan turun. Tidak ada tepukan menenangkan atau sekedar kata-kata agar dia bisa merasa lebih baik. Noel juga tidak ada inisiatif untuk meminta maaf atas tindakan temannya, walaupun hanya sekedar kata-kata kosong, setidaknya bisa membuatnya merasa tidak terlalu buruk. Ya, Isel sendiri juga tahu kalau Noel tidak akan pernah melakukan itu di tempat seperti ini. Kasih sayang atau perhatian berlebihan bisa sangat berbahaya di sini. Mereka pun sudah sepakat untuk menyimpan semua hal baik di kamar flat mungil milik Isel dan begitu sampai di luar mereka hanyalah rekan kerja. Meski begitu, tetap aja ada kekecewaan yang menyusup diam-diam. Isel menarik napas. Toh, Noel menyelamatkan kepalanya barusan jadi sepertinya hal sentimentil semacam itu tidak perlu dipikirkan terlalu jauh.

Setelah merasa cukup menenangkan diri, Isel berjalan turun. Aroma bubuk mesiu dan tembok yang lembab semakin pekat seiring langkah kakinya yang terus bergerak menuruni anak tangga. Bau-bau ini masih membuat bulu kuduknya meremang. Mungkin hanya karena kejadian tadi atau beberapa kejadian lain.

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang