Chapter 22. Ruy Lopez (Part 5)

72 25 0
                                    


Suara letupan itu kini berakhir dari percikan di udara. Isel sendiri tidak yakin ada percikan atau tidak karena dia sibuk terperangah dengan mulut menganga. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya kalau dia akan menyaksikan dua kali moncong tertarik dan dua ronde letupan peluru. Satu peluru nyaris membelah kepalanya dan satu lainnya memelesat ke udara entah untuk tujuan apa. Namun, dia menyadari satu hal. Bersama pemuda ini bisa membuat nyawanya melayang sewaktu-waktu. Untuk itu dia tidak akan membuang satu detik pun dan membuat jiwanya terpisah dari badan.

Pemuda itu terkekeh pelan lalu meluncur turun dari atap. Untung saja Isel buru-buru bangkit berdiri lalu kembali berlari. Mungkin dia akan berlari sepanjang malam sampai kakinya kapalan atau putus sekalian. Setidaknya asal bukan lehernya yang patah maka dua opsi sebelumnya masih lebih baik. Saat keluar dari gang, gerombolan lain datang dari arah kanan. Isel langsung berlari ke kiri dan menapaki jalanan yang entah akan membawanya ke mana.

Dia terus berlari dan mendadak menyesal tidak membawa mobil ke tempat ini serta mengabaikan peringatan Noel soal senjata. Keputusan pria itu benar, ternyata misi ini benar-benar membutuhkan perlengkapan memadai bukan hanya satu bilah pisau buah curian. Isel berbelok menuju deretan ruko-ruko. Langkah kakinya terhenti sejenak kala lampu sebuah mobil bersinar dari arah berlawanan. Mobil itu berhenti dan membunyikan klakson pelan, akan tetapi Isel tidak peduli. Dia langsung berlari menuju lokasi yang memang ditujunya. Hanya saja, saat dia menoleh mobil itu kini mengikutinya. Ah, mungkin mobil itu searah dengan rute pelariannya.

Isel memilih berbelok memasuki gang yang lebih kecil. Selain mobil yang ada di belakangnya membuat tidak nyaman, dia juga harus menyembunyikan jejak secepat mungkin. Kalau bisa dia harus segera keluar dari area ini. Namun, suara pintu mobil menutup lalu disusul jejak kaki kini terdengar dari belakang. Isel menoleh dan menemukan dua orang manusia kini sedang menuju ke arahnya. Gadis itu sekarang memilih mempercepat langkah kakinya karena sepertinya naik ke atas atap sekarang hanya akan mempersempit jarak dengan orang yang mengejarnya. Hanya saja, kesialannya sepertinya belum benar-benar selesai. Saat sampai di mulut gang, gerombolan lain—sekitar sepuluh orang—datang dari arah jam sembilan. Ah, sial!

Isel sekarang memilih jalur ke kiri dan terus berlari. Tidak lagi menoleh untuk memastikan jumlah orang yang kini mengejar. Dia menaruh tangan di ujung pagar salah satu bangunan dan melompat masuk. Isel menghentikan langkah sembari memegangi pinggang. Dadanya bergerak naik turun sementara napasnya masih tersengal. Dia lalu menggigit bibir dan mengamati keadaan sekitar. Kepalanya mendongak, kalau ke atas sepertinya akan segera ketahuan, akan tetapi kalau keluar lagi maka dia akan segera ditemukan. Sedangkan kalau bersembunyi di sini, memangnya ada jaminan kalau dirinya tidak akan ketahuan dan tertangkap. Ah, tidak, tidak, menunggu dibunuh jauh lebih mengerikan daripada melarikan diri untuk selamat. Sial, sepertinya ini pilihan yang salah. Setelah ini ke mana? Apa yang harus dilakukan?

"Enggak ada pilihan lain," ucapnya sambil memutar tubuh dan berniat untuk keluar lagi.

Dia belum sempat bergerak dua langkah kala seseorang menariknya. Isel belum sempat memekik karena seseorang itu buru-buru membekap mulutnya. Dia berusaha meronta dan melawan, akan tetapi cengkeraman orang itu lebih kuat.

"Kalau jadi kau, aku akan diam saja di sini," bisiknya tepat di telinga Isel.

Bisikan itu membuat bulu kuduknya meremang. Namun, dia sempat berpikir lagi karena suara langkah kaki terdengar mendekat. Orang-orang yang sejak tadi mengejarnya kini sedang melintas di jalanan—tidak jauh dari posisinya sekarang. Isel menahan napas dan menepuk punggung tangan yang membekapnya. Dia berharap kalau cengkeramannnya bisa sedikit lebih longgar. Sepertinya dia mendengarkan permintaan Isel karena meski tidak sepenuhnya dilepaskan, pegangannya tidak sekuat yang tadi.

Isel tidak tahu berapa lama waktu berjalan, dia hanya mendengar debaran jantungnya yang memukul dada tanpa henti. Dia tidak bisa menebak ekspresi wajah atau berapa kali denyutan jantung orang yang membekapnya sekarang. Namun, pria itu sepertinya sangat tenang. Namun, suara langkah kaki yang terdengar mendekat membuat Isel langsung panik seketika.

"Tuan Kireet!" Seseorang mendadak berbicara. Suaranya terdengar bersahabat dan ada rasa segan di dalamnya.

Isel memutar bola mata untuk menebak arah datangnya suara. Akan tetapi, dia hanya bisa menebak kalau orang yang berbicara sebelumnya ada di belakangnya sekarang.

"Apa semua sudah siap, Asher?" Pria yang kini berada di belakang Isel mendadak bicara.

"Iya, Tuan."

"Kita pergi."

"Eh, pergi ke mana?" tanya Isel begitu dekapan di mulutnya terlepas.

Namun, Isel tidak mendapatkan jawabannya karena mendadak kepalanya berputar. Tempat ini sudah gelap, hanya entah bagaimana rasanya jadi makin gelap. Sesuatu—entah apa—kini memukul tengkuknya dan membuat kepalanya yang sudah pusing jadi makin nyeri. Tubuhnya mulai limbung dan bahunya mendadak sakit ketika jatuh memukul lantai.

"Apa yang—"

Isel terbatuk dan tidak sempat menyelesaikan pertanyaannya. Matanya juga terasa semakin berat. Mulutnya membuka untuk mencari udara saat dadanya mulai sesak. Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa tubuhnya mendadak lemas begini?

"Apa racunnya kebanyakan?" tanya pria yang dikenalinya sebagai yang menolongnya beberapa saat lalu.

"Mungkin. Lalu mau kita apakan orang ini, Tuan?" Suara orang tadi terdengar samar-samar.

"Kita buang saja!" sahut suara yang lain.

Jadi dia keracunan dan akan segera dibuang. Penawarnya pasti ada di orang itu, dia harus memintanya segera. Kalau memang harus bertarung maka dia akan harus mendapatkannya agar selamat. Isel mencoba mengulurkan tangan dan mencoba untuk bangun. Akan tetapi, dia tidak ingat sama sekali lokasi tangannya berada. Dia juga lupa tubuhnya ada di mana. Mungkin sekarang dia akan benar-benar mati. Gadis itu memejamkan mata dan memilih menyerah saja pada kegelapan—dan mungkin pada kematian.

Gadis itu menggeliat saat merasakan panas menyengat wajahnya. Napasnya tersentak keluar sementara matanya terus mengerjap setelah kelopaknya membuka beberapa detik lalu. Dia bergerak miring dan hanya menemukan daun-daun rerumputan kini menusuk pipi dan matanya. Isel buru-buru bangun. Mendadak lega kala menemukan tubuhnya masih utuh dan ada di tempatnya. Isel menatap ke sekeliling, dia hanya menemukan rerumputan tinggi di dekatnya. Ini di mana?

Dia sama sekali tidak tahu posisinya sekarang, sepertinya dirinya memang benar-benar dibuang seperti kata orang itu semalam. Selain rerumputan, dia hanya menemukan pohon-pohon yang berbaris rapat beberapa meter di dekatnya. Hanya saja, sepertinya dia tidak pernah ke tempat ini. Kalau dirinya benar-benar dibuang, lalu kenapa mereka mau repot-repot membuangnya saat sebenarnya lebih mudah untuk meninggalkannya saja di tempat semalam?

Gadis itu buru-buru menatap sekeliling untuk mencari barang-barangnya. Untung saja waist bag-nya ditemukan tidak jauh dari kakinya. Isel meraih benda itu dan membukanya dengan kasar. Setelahnya dia membalik tas itu di udara hingga isinya berhamburan di atas tanah. Hmm, sepertinya tidak ada yang hilang. Kalau memang sengaja membuang maka seharusnya barang-barangnya juga diambil jadi dia tidak bisa menjadi pertolongan. Namun, semua barangnya—termasuk ponsel—masih utuh. Kalau begitu kenapa?

Isel mengangkat tangan dan memasukkan ujungnya ke dalam mulut. Dia ingat kalau dua orang itu menyebut racun, soal pembuangan lalu nama.

"Tunggu, Asher lalu Tuan Kireet," gumamnya.

Kireet, Kireet. Kireet, Tuan Kireet,

Kelopak matanya mendadak melebar kala ujung kuku ibu jarinya mendadak patah. Gadis itu buru-buru meraih ponselnya. Untung saja benda itu tidak mati. Jarinya menggulir permukaan layar dengan cepat dan mengetik nama yang terdengar tidak asing itu. Laman pencarian muncul tidak lama setelahnya. Bagian teratas soal arti nama, di bawahnya soal rumor.

'Kireet adalah nama pemimpin Khisfire, tidak ada yang pernah melihat atau bertemu dengannya karena katanya dia akan membunuh siapa pun yang pernah melihat wajahnya. Banyak rumor mengatakan kalau dia kebal racun dan sangat lihai menggunakannya...'

Ponsel yang semula dipegang Isel tergelincir dari tangan. Tangannya langsung menutup mulut. Jadi semalam dia bertemu dengan pemimpin Khisfire? Orang itu juga menyelamatkannya dan membuangnya? Kenapa Kireet membiarkannya hidup setelah semua kejadian ini?

One : En PassantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang